JAKARTA | Priangan.com – Pada tahun 1936, seorang remaja berusia 17 tahun bernama Ismail Marzuki memulai langkah awalnya dalam dunia musik dengan bergabung ke dalam orkes keroncong populer di Batavia, Lief Java. Di orkes ini, ia bertemu dengan para musisi keroncong ternama pada masanya. Lief Java menjadi semacam arena lahirnya talenta besar yang berhasil melambungkan banyak nama besar dalam sejarah musik Indonesia.
Lief Java sendiri didirikan oleh Suwardi, yang lebih dikenal dengan nama Pak Wang, pada tahun 1918. Awalnya, kelompok ini bernama Rukun Anggawe Santoso, sebelum akhirnya berganti nama menjadi Lief Java pada tahun 1923.
Karya-karya musik yang dibawakan oleh Lief Java pada awalnya bersifat anonim. Lagu-lagu mereka tidak mencantumkan nama pengarang karena proses penciptaannya dilakukan secara kolektif. Meskipun demikian, mereka sudah mampu merekam lagu-lagu tersebut ke dalam piringan hitam melalui label internasional seperti Odeon, Columbia, dan His Master’s Voice.
Di dalam orkes ini, hadir pula musisi-musisi terkenal seperti pasangan Kartolo dan Miss Rukiah, Miss Nety, Atjep, serta fluitis andal Hugo Dumas yang pernah memimpin Lief Java di masa kejayaannya.
Tahun 1934 menjadi titik balik penting ketika Lief Java mulai mengisi siaran radio NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij). Meskipun porsi siarannya masih kalah dibandingkan dengan siaran untuk pendengar Eropa, keterlibatan Lief Java dalam NIROM berhasil mendongkrak popularitas mereka. Bahkan, para penggemar mulai mengoleksi foto-foto anggota orkes ini yang dijual melalui media cetak.
Ketika Ismail Marzuki bergabung, ia memainkan banjo, alat musik berdawai yang mirip gitar. Tak hanya itu, ia juga menyanyi, menulis lirik, dan menggubah lagu. Ismail sangat aktif dalam mengaransemen lagu-lagu Barat, keroncong, dan langgam Melayu. Ia bahkan dianggap sebagai tokoh yang pertama kali memperkenalkan akordeon dalam musik langgam Melayu.
Kehadiran Ismail membawa warna baru bagi Lief Java. Lagu-lagu ciptaannya begitu digemari hingga para pendengar NIROM kerap meminta agar karyanya diputar, atau bahkan dinyanyikan sendiri olehnya. Setiap bulan, ratusan surat dari para penggemar datang menghujaninya.
Popularitas genre musik Hawaiian yang sedang naik daun juga ikut memengaruhi dinamika orkes ini. Para pendengar menginginkan lebih banyak lagu Hawaiian yang kemudian mendorong terbentuknya band baru bernama Sweet Java Islanders. Grup ini beranggotakan Ismail Marzuki, Victor Tobing, Hassan Basri, Pak De Rosario, dan Hardjomuljono.
Salah satu lagu paling terkenal mereka adalah Bayangan Malam, yang menjadi lagu penutup siaran radio. Lagu ini menjadi semacam identitas bagi Sweet Java Islanders.
Namun, ketika NIROM mulai menggunakan lagu tersebut sebagai pembuka siaran tanpa izin, protes dari kelompok ini tidak dihiraukan. Akibatnya, pada tahun 1937, Ismail Marzuki dan beberapa rekannya memutuskan untuk mengundurkan diri dari NIROM.
Setelah keluar dari NIROM, Lief Java mendapat rumah baru dalam bentuk stasiun radio baru, VORO (Vereeniging voor Oosterche Radio Omroep), yang berdiri untuk mewadahi siaran bagi pendengar dari kalangan pribumi yang kurang mendapat ruang di NIROM. VORO dibentuk dengan fasilitas serba sederhana.
Kantornya berada di sebuah rumah tinggal di Kramat Raya, dengan antena dari bambu betung yang disambung ijuk dan dinding studio yang hanya dilapisi karung goni. Stasiun ini hanya memiliki dua mikrofon kotak, namun cukup untuk menyiarkan semangat musik mereka.
Lief Java kemudian rutin tampil secara langsung di VORO setiap Sabtu malam. Acara ini juga dimeriahkan oleh penyanyi tunanetra berbakat, Miss Annie Landouw. Meski tanpa bayaran, para musisi tetap tampil dengan semangat, hanya menerima uang transportasi seadanya. Di tengah masyarakat Betawi saat itu, menjadi hal umum bagi orkes untuk tampil dalam acara hajatan seperti pernikahan.
Namun, Ismail Marzuki bersikap berbeda. Ia menolak tampil di acara semacam itu karena ingin mengangkat martabat profesi musisi. Keputusannya ini sempat membuatnya dijuluki “musikus salon”, istilah yang merujuk pada pemusik yang hanya tampil di ruang-ruang pertunjukan formal.
Memasuki masa pendudukan Jepang, nama Lief Java dianggap terlalu berbau kolonial Belanda dan dilarang digunakan.
Sebagai gantinya, mereka mengganti nama menjadi ‘Kirei Na Jawa’, yang berarti ‘Jawa nan molek’ dalam bahasa Jepang. Meskipun harus beradaptasi di tengah situasi politik yang berubah-ubah, semangat bermusik dan dedikasi para anggotanya tak pernah surut.
Kisah Lief Java dan perjalanan Ismail Marzuki di dalamnya mencerminkan semangat dan perjuangan para seniman dalam membangun jati diri musik Indonesia. Mereka bukan sekadar penghibur, tetapi pelopor yang membentuk fondasi penting bagi perkembangan musik Tanah Air. (LSA)