SUMBAWA | Priangan.com – Letusan gunung Krakatau menjadi salah satu tragedi kelam yang dimiliki oleh Indonesia. Konon, letusan tersebut menjadi peristiwa vulkanik terbesar di dunia. Namun, siapa sangka, jauh sebelum meletusnya gunung Krakatau, Indonesia pernah mengalami letusan gunung Tambora di Pulau Sumbawa pada tahun 1815 yang dampaknya tak kalah mengerikan.
Gunung Tambora sendiri terletak di bagian utara Pulau Sumbawa. Gunung ini menjadi salah satu gunung berapi aktif di kawasan timur Nusantara. Pada awal April 1815, aktivitasnya mulai meningkat. Getaran halus disertai suara gemuruh terdengar hingga jauh ke pulau-pulau tetangga.
Puncak letusan terjadi pada malam 10 April 1815. Konon, suara dentumannya begitu dahsyat hingga terdengar sejauh ribuan kilometer, bahkan dilaporkan sampai ke Pulau Jawa dan Sumatra. Dalam sekejap, puncak gunung setinggi sekitar 4.300 meter itu runtuh, meninggalkan kaldera besar berdiameter hingga tujuh kilometer.
Letusan Tambora memuntahkan abu vulkanik dan gas ke atmosfer dalam jumlah luar biasa. Abu tebal menyelimuti langit hingga beberapa hari danm membuat wilayah sekitar gelap gulita di siang hari. Aliran piroklastik melanda desa-desa di lereng gunung, menewaskan ribuan penduduk dalam waktu singkat. Daerah sekitarnya, termasuk Bima dan Dompu, luluh lantak tertimbun abu dan batuan panas.
Dampak letusan tidak berhenti di Sumbawa saja. Awan debu dan gas yang terlempar ke stratosfer menyebar ke seluruh penjuru dunia, memantulkan sinar matahari dan menurunkan suhu global. Setahun setelah peristiwa itu, dunia mengalami anomali iklim yang dikenal dengan sebutan Year Without a Summer atau Tahun Tanpa Musim Panas. Di Eropa dan Amerika Utara, suhu turun drastis. Tanaman gagal panen, hewan ternak mati, dan kelaparan melanda banyak wilayah.
Menurut catatan sejarah, sekitar 10.000 orang tewas langsung akibat letusan Tambora, sementara puluhan ribu lainnya meninggal karena kelaparan dan penyakit setelahnya. Penduduk di wilayah Nusa Tenggara mengalami krisis pangan yang panjang akibat lahan pertanian tertimbun abu. Di laut, letusan itu juga menimbulkan gelombang tsunami yang memperparah kerusakan di pesisir.
Penelitian mengungkapkan, letusan Tambora melepaskan sekitar 37 hingga 45 kilometer kubik material vulkanik. Jumlah gas sulfur dioksida yang terlepas ke udara menyebabkan pembentukan aerosol sulfat yang bertahan lama di atmosfer, menjadi penyebab utama pendinginan global. Peristiwa itu kini diakui sebagai letusan gunung berapi paling besar yang tercatat dalam sejarah modern.
Catatan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan laporan pelaut Eropa menjadi sumber penting bagi para ilmuwan dalam menelusuri kronologi peristiwa tersebut. Bukti geologis seperti lapisan abu dan endapan piroklastik di sekitar kaldera Tambora turut memperkuat data sejarah. Dari sana diketahui, perubahan besar pada bentuk gunung dan dampaknya terhadap iklim global menjadi pelajaran berharga mengenai kekuatan alam yang tak terduga.
Dua abad telah berlalu sejak letusan Tambora mengguncang bumi, namun jejaknya masih dapat dirasakan hingga kini. Selain meninggalkan kaldera raksasa di Sumbawa, peristiwa itu menjadi pengingat kalau kepulauan Indonesia yang berdiri di atas cincin api Pasifik, menyimpan potensi geologi luar biasa besar sekaligus rapuh di hadapan kuasa alam yang tak dapat diprediksi. (wrd)

















