KAIRO | Priangan.com – Pada musim panas 1956, dunia menyaksikan Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, mengambil alih kendali Terusan Suez, jalur perdagangan paling strategis di Timur Tengah, yang sebelumnya dikuasai Inggris dan Prancis. Langkah ini bukan sekadar nasionalisasi, tetapi simbol perlawanan terhadap penjajahan dan ketergantungan asing. Dalam hitungan hari, namanya menjadi legenda di seluruh dunia Arab, seorang pemimpin yang mampu menantang kekuatan besar dan membangkitkan rasa bangga rakyatnya.
Sebagaimana dilansir dari RT News, kehidupan Nasser sejak muda sudah memperlihatkan tanda-tanda kepemimpinan yang kuat. Lahir pada 15 Januari 1918 di Alexandria dari keluarga sederhana, ia sering berpindah tempat tinggal karena pekerjaan ayahnya sebagai juru pos.
Semasa remaja, Nasser aktif dalam demonstrasi menentang campur tangan Inggris di Mesir. Ia bahkan pernah mengalami cedera kepala ringan akibat bentrokan dengan polisi, yang justru membuatnya mendapat perhatian media. Minatnya pada sejarah, biografi pemimpin besar, serta karya-karya nasionalis Mesir membentuk pandangan politiknya.
Karier militernya menjadi fondasi penting bagi langkah-langkah politiknya. Di Akademi Militer, ia bertemu Abdel Hakim Amer dan Anwar Sadat, yang kelak menjadi sekutu setianya. Nasser mengasah kemampuan organisasi dan strategi militer, sambil diam-diam memimpin kelompok Free Officers Movement atau Perwira Bebas yang bertujuan menggulingkan Raja Farouk I, monarki yang pro-Inggris.
Pengalaman tempurnya dalam perang Arab-Israel pada akhir 1940-an dan peran sebagai pengajar di perguruan tinggi militer semakin memperkuat reputasinya sebagai sosok yang mampu memadukan keterampilan militer dengan visi politik.
Revolusi Juli 1952 menandai titik balik Mesir. Perwira Bebas merebut kendali pemerintahan, memaksa Raja Farouk I turun takhta, dan mendirikan republik. Mohamed Naguib diangkat sebagai presiden pertama. Nasser awalnya beroperasi di balik layar sebagai pengambil keputusan utama negara.
Pada 1954, ancaman serius muncul dari Ikhwanul Muslimin, organisasi Islam politik yang menentang pemerintahan sekuler Nasser. Mereka mencoba membunuh Nasser di Alexandria, tetapi percobaan itu gagal. Kejadian ini menjadi momentum bagi Nasser untuk memperkuat cengkeramannya atas kekuasaan, menjauhkan Naguib, dan menindak kelompok oposisi secara tegas, termasuk menahan anggota Ikhwanul Muslimin serta mengeksekusi tokoh terkemuka Sayyid Qutb.
Setelah memantapkan kekuasaannya, Nasser resmi menjadi Presiden Mesir pada 23 Juni 1956 melalui referendum nasional yang menegaskan posisinya. Selanjutnya, ia meluncurkan reformasi tanah yang membagi kembali lahan dari pemilik besar kepada petani kecil untuk mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi. Langkah ini memperkuat dukungan rakyat meski menimbulkan ketegangan politik dengan kelompok oposisi.
Puncak prestasi Nasser terjadi saat nasionalisasi Terusan Suez pada Juli 1956. Tindakan ini memicu Agresi Tripartit, ketika Inggris, Prancis, dan Israel melancarkan serangan militer. Mesir hampir seluruhnya dikuasai pasukan asing, tetapi Nasser berhasil memobilisasi warga sipil dan milisi, menenggelamkan kapal-kapal di Terusan Suez, dan bertahan hingga tekanan internasional memaksa pasukan Inggris dan Prancis mundur. Dukungan politik dan militer Uni Soviet semakin memperkuat posisi Mesir, menandai awal hubungan dekat dengan Blok Timur.
Di dalam negeri, Nasser menekankan pembangunan sosial dan ekonomi. Proyek Bendungan Tinggi Aswan menjadi simbol modernisasi Mesir dalam penyediaan listrik, irigasi, dan lapangan kerja bagi puluhan ribu warga. Ia menyebutnya sebagai “piramida bagi kehidupan”, menandai pergeseran dari warisan kuno Mesir menuju pembangunan yang langsung dirasakan rakyat.
Pabrik baja di Helwan dan puluhan proyek industri lainnya yang dibantu Soviet turut memperkuat fondasi ekonomi nasional. Prestasi ini, bersamaan dengan keberaniannya di kancah internasional, menjadikan Nasser ikon pan-Arabisme, sosok yang memperjuangkan persatuan dan kemerdekaan dunia Arab.
Upaya menyatukan dunia Arab melalui United Arab Republic (UAR) dengan Suriah pada 1958 menunjukkan ambisi Nasser. Namun, UAR hanya bertahan hingga 1961 karena ketegangan politik dan perbedaan kepentingan. Ambisinya pun diuji lagi dalam Perang Enam Hari 1967, ketika Mesir kalah dari Israel, kehilangan Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza, serta mengalami kerugian besar pada angkatan udara. Meski begitu, dukungan rakyat yang massif membuat Nasser tetap mempertahankan kursi kepresidenan hingga akhir hayatnya.
Kehidupan politik Nasser berakhir pada 28 September 1970 akibat serangan jantung mendadak. Pemakamannya di Kairo dihadiri sekitar lima juta orang, termasuk pemimpin dunia Arab seperti Raja Hussein dan Yasser Arafat. Duka yang melanda Mesir dan kawasan Arab bukan sekadar kehilangan seorang presiden, melainkan juga simbol persatuan dan harapan yang telah lama ia bawa.
Warisan Nasser tetap hidup hingga kini. Ia berhasil menghapus pengaruh Inggris, memperkuat posisi Mesir di panggung regional, dan memberikan akses pendidikan serta layanan sosial bagi rakyat. Ideologi “Nasserisme” yang ia kembangkan dengan menggabungkan nasionalisme Arab dengan prinsip-prinsip sosialisme, menawarkan alternatif bagi kapitalisme Barat dan komunisme Soviet.
Bagi jutaan orang Arab, ia melambangkan impian persatuan dan kemerdekaan yang belum sepenuhnya terwujud. Gamal Abdel Nasser mungkin telah tiada, tetapi jejak keberanian, ambisi, dan gagasannya tetap hidup dan terus dikenang generasi demi generasi. (LSA)

















