DELHI | Priangan.com – Melihat seorang pria yang menembuskan logam tajam pada pipinya, berjalan di atas bara api, atau bahkan menggantungkan diri dengan kait besi yang mencengkeram kulit punggungnya bisa jadi hal biasa.
Aksi sulap yang ekstrem seperti itu biasa dipertontonkan di pinggir jalan, di acara televisi, atau mungkin di media sosial. Biasanya, aksi-aksi seperti itu membuat penonton bergidik ngeri, sembari bertanya-tanya motivasi di balik tindakan ekstrem yang mereka lakukan.
Namun siapa sangka, di balik kesan menyeramkan dan tak masuk akal itu, tersimpan sesuatu yang jauh lebih dalam. Bagi sebagian orang di India, aksi seperti merupakan bentuk tertinggi pengabdian kepada Tuhan.
Di India, iman dan keyakinan sering kali diwujudkan melalui ritual-ritual keagamaan yang ekstrem. Dalam berbagai festival suci, tubuh bukan sekadar raga, melainkan media untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Rasa sakit menjadi persembahan dan luka dipercaya sebagai jalan menuju anugerah.
Banyak festival yang menampilkan bentuk-bentuk pengorbanan fisik yang mencengangkan, seperti Festival Panguni Uthiram, Thaipusam, Gajan, Garuda Thookkam, dan Thimthi.
Pada Thaipusam, misalnya, umat Hindu berjalan tanpa alas kaki di atas bara api, lalu menusuk pipi dan lidah mereka dengan jarum raksasa sebagai bukti ketulusan doa.
Di Benggala Barat, festival Gajan menampilkan pria-pria yang menusukkan batang besi dan kait ke tubuh mereka sambil memohon berkah bagi hasil panen.
Dalam Feestival Garuda Thookkam, para penyembah menggantung diri mereka di udara dengan kait logam tajam yang menancap di punggung mereka.
Bahkan, dalam Festival Thimthi, para penyembah termasuk anak-anak, berjalan melintasi lubang api sebagai simbol keteguhan iman dan kemurnian hati.
Bagi banyak umat, tindakan menyakiti tubuh bukanlah penderitaan, melainkan pengabdian. Mereka percaya bahwa jika niatnya murni, Tuhan tidak akan membiarkan mereka terluka. Luka yang timbul akan sembuh dengan abu suci. Darah yang keluar adalah bagian dari persembahan.
Fenomena ini bukan hal baru. Sejarawan John Zubrzycki mencatat bahwa hubungan antara tubuh, ritual, dan keyakinan sudah berlangsung sejak zaman Weda, sekitar 1700 hingga 1500 SM.
Dalam Atharvaveda tertulis tentang orang-orang suci nomaden yang menggunakan mantra, tarian, dan bahkan pengorbanan fisik untuk mengusir roh jahat atau menyembuhkan penyakit.
Dari masa ke masa, para petapa dari berbagai kepercayaan, seperti Hindu, Buddha, Jain, bahkan Islam, mempraktikkan laku spiritual yang mengandalkan tubuh sebagai alat penyampaian kepercayaan. Menelan pedang, berjalan di atas bara, hingga mengubur diri hidup-hidup bukan hanya tindakan nekat, tapi juga latihan penguatan batin dan koneksi spiritual.
Beberapa dari praktik ini berkembang menjadi seni pertunjukan. Di istana-istana raja Hindu dan muslim, para pesulap, penari spiritual, dan ilusionis diundang untuk menghibur para bangsawan dan tamu dari negeri asing. Mereka bukan sekadar penghibur, tapi juga dipandang memiliki kekuatan gaib yang diwariskan dari ajaran-ajaran sakral.
Menelan pedang, yang kini dikenal sebagai seni ekstrem di berbagai negara, sejatinya berasal dari ritual kuno di India. Aksi ini awalnya dilakukan oleh pendeta untuk menunjukkan bahwa tubuh bisa ditundukkan oleh kekuatan spiritual.
Pada 1970-an, majalah Swami Mantra sempat mempopulerkan teknik-teknik seperti menelan silet, memakan bola lampu, atau mengoper jarum dari mata ke mata, semuanya berakar dari tradisi keagamaan yang mistis.
Hingga hari ini, banyak pesulap di India masih membuka pertunjukannya dengan menyebut nama Dewa Indra, dewa sihir dalam mitologi Hindu. Walau penonton tahu bahwa yang mereka lihat adalah ilusi, nama Indra menambahkan lapisan spiritual yang membuat batas antara trik dan kepercayaan menjadi kabur.
Ritual-ritual ekstrem ini terus hidup di tengah masyarakat. Tidak untuk dipamerkan, tetapi sebagai bentuk penyerahan diri yang paling tulus kepada kekuatan ilahi. Tubuh dijadikan persembahan, rasa sakit menjadi doa.
Selama iman masih berakar kuat, tubuh akan terus menjadi wadah pengabdian. Luka dan darah bukanlah tanda penderitaan, melainkan bukti bahwa harapan, doa, dan keyakinan telah dititipkan sepenuh hati kepada yang tak terlihat. (LSA)