JAKARTA | Priangan.com – Pada tahun 1949, Afrika Selatan mengesahkan salah satu undang-undang apartheid pertama setelah Partai Nasional berkuasa, yaitu Undang-Undang Larangan Pernikahan Campuran No. 55 Tahun 1949.
Undang-undang ini melarang pernikahan antara orang kulit putih dan non-kulit putih. Dalam praktiknya, peraturan ini bertujuan untuk menjaga apa yang disebut sebagai “kemurnian ras kulit putih.”
Selain melarang pernikahan antar ras, undang-undang ini juga menjadikan pejabat pencatat sipil yang tetap menikahkan pasangan beda ras sebagai pelaku tindak pidana.
Hukum tersebut tidak melarang pernikahan antara sesama non-kulit putih, melainkan difokuskan untuk mencegah orang kulit berwarna memasuki komunitas kulit putih melalui pernikahan.
Meski pernikahan campuran jarang terjadi, dengan rata-rata kurang dari 100 kasus per tahun antara 1943 dan 1946, pemerintah tetap menganggapnya sebagai ancaman serius.
Partai Nasional menciptakan undang-undang ini sebagai upaya politik untuk memenuhi janji mereka dalam mempertahankan dominasi kulit putih di Afrika Selatan. Selain itu, mereka mengadopsi model hukum segregasi dari Amerika Serikat yang kala itu masih melarang pernikahan antar ras.
Pada kenyataannya, ketakutan utama yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang ini adalah kekhawatiran akan adanya perempuan kulit putih kelas pekerja yang menikah dengan pria kulit berwarna. Statistik menunjukkan bahwa pernikahan semacam itu sangat jarang, hanya sekitar 0,2% dari keseluruhan pernikahan pada 1946. Namun, pemerintah tetap merasa perlu membuat aturan yang mempertegas batasan sosial antar ras.
Tidak semua pihak mendukung keberadaan undang-undang ini. Partai Bersatu, yang sebelumnya berkuasa, menolak legislasi serupa pada 1930-an. Walaupun Partai Bersatu tidak menyetujui pernikahan antar ras, mereka berpendapat bahwa tekanan sosial sudah cukup untuk menghambat terjadinya pernikahan campuran, tanpa perlu keterlibatan hukum.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa undang-undang tersebut justru menghina martabat perempuan kulit putih.
Penolakan keras juga datang dari kalangan gereja. Banyak pemimpin agama beranggapan bahwa pernikahan adalah urusan spiritual antara manusia dan Tuhan, bukan negara.
Mereka menentang ketentuan yang membatalkan pernikahan campuran yang telah berlangsung, karena gereja tidak mengakui perceraian. Akhirnya, pemerintah menambahkan klausul yang memastikan bahwa anak-anak dari pernikahan yang dibatalkan tetap dianggap sah.
Seiring berjalannya waktu, undang-undang ini menjadi sumber perpecahan di dalam pemerintahan. Pada 1976, sebanyak 260 orang dihukum berdasarkan Undang-Undang Larangan Pernikahan Campuran dan Undang-Undang Imoralitas yang melarang hubungan seksual antar ras. Banyak dari mereka harus menjalani hukuman penjara.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri John Vorster, perdebatan di antara pejabat tinggi semakin terbuka. Dua menteri senior mendukung pencabutan undang-undang, sedangkan pihak konservatif seperti Wakil Menteri Administrasi Bantu, Andries Treurnicht, bersikeras mempertahankannya.
Vorster sendiri membela undang-undang ini dalam wawancara dengan BBC, mengklaim bahwa aturan tersebut melindungi perempuan kulit bewarna dari “orang kulit putih yang jahat”, mengutip referensi dari buku Roots karya Alex Haley.
Namun, Menteri Pertanian Hendrik Schoeman berani menentang pandangan tersebut. Ia berpendapat bahwa hukum seperti itu tidak diperlukan untuk menjaga identitas bangsa Afrikaner. Ia menceritakan pengalaman pribadinya bekerja dengan buruh Afrika tanpa adanya masalah soal hubungan antar ras.
Menteri Luar Negeri Roelof Botha juga mendukung pencabutan. Ia menilai bahwa undang-undang tersebut telah merugikan reputasi Afrika Selatan di mata dunia. Menurutnya, mempertahankan kebijakan diskriminatif justru menghambat masa depan negara tersebut.
Meski begitu, kaum konservatif tetap mendapat dukungan dari komisi pemerintah yang menyarankan agar Undang-Undang Imoralitas tetap dipertahankan. Komisi ini beralasan bahwa pencabutan dapat menyebabkan “gelombang ekses seksual” yang dianggap akan merusak moral masyarakat. Ironisnya, tidak satu pun anggota komisi tersebut berasal dari komunitas non-kulit putih.
Larangan hubungan antar ras sebenarnya telah diberlakukan sejak 1927, jauh sebelum Partai Nasional berkuasa. Namun, pernikahan campuran baru resmi dilarang setelah partai itu mengukuhkan kekuasaannya.
Hingga saat itu, pernikahan campuran hampir tidak pernah melebihi 100 kasus per tahun.
Tekanan internal dan eksternal terhadap pemerintahan apartheid semakin meningkat sepanjang 1970-an dan awal 1980-an.
Akhirnya, pada 19 Juni 1985, Undang-Undang Larangan Pernikahan Campuran, bersama Undang-Undang Imoralitas, resmi dicabut. Ini menjadi salah satu langkah awal menuju runtuhnya apartheid, yang baru benar-benar berakhir dengan pembentukan pemerintahan demokratis di tahun 1994.
Perjalanan panjang melawan diskriminasi ini menjadi pelajaran penting bagi dunia bahwa hukum yang melanggar prinsip keadilan dan kesetaraan manusia tidak akan pernah bertahan selamanya. Sejarah ini mengingatkan bahwa perjuangan untuk hak asasi harus terus diperjuangkan, apa pun tantangannya. (LSA)