CIAMIS | priangan.com — Halaman utama Google mendadak menjadi panggung bagi secangkir kopi khas Indonesia. Pada Selasa (15/7/2025), Google Doodle menampilkan ilustrasi kopi susu gula aren — minuman yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi ikon baru dalam dunia kopi.
Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya sekilas apresiasi terhadap minuman populer. Namun bagi para petani nira di daerah, seperti di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, momen ini menghadirkan harapan yang lebih dalam: peningkatan kesejahteraan bagi mereka yang berada di balik proses produksinya.
Di Kampung Kawung, sebuah kawasan perdesaan yang tenang di Ciamis, gema dari Google Doodle itu terasa sangat nyata. Kampung ini dikenal sebagai sentra gula aren tradisional, tempat puluhan petani menggantungkan hidupnya dari pohon enau. Salah satu tokohnya adalah Peri Heryanto, S.Ip., petani sekaligus pelaku usaha yang telah membina lebih dari 40 petani melalui program Kampung Kawung Sentra Gula Aren.
Ketika ditemui di area pengolahan gula, Peri menyampaikan kebahagiaannya atas munculnya kopi gula aren di platform global sekelas Google. Baginya, ini adalah bentuk pengakuan terhadap nilai dan warisan lokal yang selama ini kurang mendapat sorotan.
“Kami bangga sekaligus berharap besar. Gula aren bukan sekadar bahan campuran, tapi identitas lokal yang punya nilai ekonomi, gizi, dan budaya. Kalau tren ini terus berkembang, harapannya kesejahteraan petani juga ikut terdongkrak,” ujarnya.
Peri menggarisbawahi bahwa produk gula aren dari Kampung Kawung diolah secara tradisional tanpa campuran kimia, dengan cita rasa khas dan aroma karamel smokey yang dicari banyak barista. Ia mengaku, pesanan dari sejumlah kedai kopi dan pelaku UMKM minuman terus meningkat dalam dua tahun terakhir.
“Kami masak pakai tungku kayu, jadi aromanya kuat dan alami. Gula yang dihasilkan pun lebih sehat karena mengandung mineral seperti kalium dan magnesium. Itu keunggulan kami,” katanya.
Namun di balik optimisme itu, Peri juga menyadari bahwa masih banyak tantangan. Menurutnya, tren yang datang mendadak sering kali hanya bersifat sesaat, dan tidak semua pelaku di hulu siap menghadapi lonjakan permintaan jika tidak ada pendampingan jangka panjang.
“Tantangan kami itu menjaga konsistensi mutu dan pasokan. Kadang panen nira terganggu cuaca. Belum lagi soal standardisasi dan pengemasan. Jadi kami butuh dukungan, bukan hanya apresiasi tren semata,” ungkapnya.
Ia menambahkan, Kampung Kawung kini tidak hanya fokus pada produksi gula batok, tetapi juga mulai mengembangkan inovasi produk seperti gula cair dan kristal aren. Ini dilakukan untuk menjangkau pasar yang lebih luas dan menjawab kebutuhan industri modern.
Harapan besar juga disampaikan oleh Iwan Gunawan, petani muda yang ikut bergabung dalam kelompok tani Kampung Kawung. Baginya, tren kopi gula aren yang sedang viral bisa menjadi cara baru untuk menarik generasi muda kembali ke sektor pertanian.
“Biasanya anak muda enggan jadi petani, tapi sekarang mulai berubah. Apalagi kalau tahu produk lokal bisa masuk kafe modern, bahkan diangkat Google. Kami jadi bangga dan semangat ikut melestarikan,” kata Iwan.
Mereka percaya bahwa perubahan besar bisa dimulai dari yang sederhana — dari nira yang menetes perlahan di batang enau, lalu diproses dengan tangan dan bara tungku, hingga akhirnya berpadu dengan espresso di gelas kaca yang diseruput di tengah kota.
Kini, secangkir kopi gula aren bukan lagi sekadar minuman pemanis hari. Di balik aromanya, ada semangat, kerja keras, dan harapan agar petani-petani kecil di pelosok negeri bisa lebih dihargai. Jika tren ini terus berlanjut dan diikuti dengan perhatian serius terhadap hulu produksi, bukan tidak mungkin Kampung Kawung dan tempat-tempat serupa akan menjadi pusat ekonomi baru berbasis kearifan lokal yang tak hanya kuat di dalam negeri, tetapi juga bersaing di pasar dunia.
“Gula aren bukan tren sesaat. Ini budaya. Ini sumber kehidupan. Kami ingin terus berinovasi, tapi juga ingin diakui sebagai bagian penting dari rantai nilai,” pungkasnya. (yna)