Historia

Kisah Toleransi Beragama Di Balik Gereja Katolik Akbar

Lukisan Gereja Akbar di Agra, India, oleh Guillaume Van Strydonck | Wikimedia Commons.

AGRA | Priangan.com – Di tepi Sungai Yamuna, Kota Agra menyimpan kisah unik tentang toleransi beragama yang jarang diketahui. Bukan tentang Taj Mahal yang megah, melainkan mengenai sebuah gereja Katolik Roma yang dibangun atas perintah seorang penguasa Islam, Jalaludin Muhammad Akbar. Keputusan ini begitu mengejutkan, mengingat latar belakang agama sang kaisar dan masa di mana ia memerintah.

Akbar, yang dikenal sebagai Akbar yang Agung, adalah kaisar Mughal ketiga yang memerintah India dari tahun 1556 hingga 1605. Ia naik takhta pada usia empat belas tahun, menggantikan ayahnya, Humayun. Berkat bimbingan Bairam Khan, seorang komandan militer tepercaya, Akbar muda dengan cepat belajar menguasai seni pemerintahan dan militer.

Bahkan sebelum berusia delapan belas tahun, Akbar sudah berhasil merebut kembali Delhi, Agra, dan Punjab dari kekuasaan Sikander Shah Suri. Ia juga berhasil menaklukkan Lahore dan Rajasthan. Pencapaian-pencapaian ini membuatnya mendapat gelar sebagai kaisar Mughal terhebat.

Meski dikenal karena keperkasaannya di medan perang, Akbar memiliki sisi lain yang penuh belas kasih dan toleransi. Ia rutin mengundang cendekiawan dari berbagai agama untuk berdebat di istananya. Perdebatan yang dimaksud bukanlah perdepatan yang memicu sebuah konflik, melainkan untuk menciptakan dialog yang terbuka dan saling memahami antaragama, demi mencerminkan sikap toleransi beragama.

Akbar membangun Ibadat Khana atau “Rumah Ibadah” di Fatehpur Sikri sebagai tempat untuk diskusi lintas agama tersebut.

Berbeda dengan banyak penguasa Muslim pada masa itu yang memaksa umat Hindu masuk Islam, Akbar justru berusaha mempertemukan perbedaan. Ia menciptakan komunitas bernama Din-i-Ilahi yang menggabungkan elemen-elemen terbaik dari berbagai agama.

Komitmen Akbar terhadap toleransi beragama juga terlihat dari kebijakan-kebijakannya. Ia menghapus jizya, pajak bagi non-Muslim yang berlaku sebelumnya, serta memberi kebebasan bagi umat Hindu untuk beribadah dan membangun kuil.

Tonton Juga :  Sejarah PBB, Dulu Dibentuk untuk Gantikan LBB yang Tak Mampu Cegah Perang Dunia II

Pada tahun 1580, Akbar mendengar tentang para pendeta Jesuit di Goa yang dikuasai Portugis. Ia mengundang mereka ke istananya untuk mempelajari ajaran Katolik. Tiga pendeta Jesuit, yaitu Antony Monserrate, Rudolf Aquaviva, dan Francis Henrique itu tinggal di Agra selama tiga tahun dan berdiskusi dengan Akbar.

Meskipun tidak berpindah agama, Akbar begitu terkesan hingga memberikan tanah untuk pembangunan gereja katolik pertama di Agra pada tahun 1598. Gereja ini kemudian dikenal sebagai Gereja Akbar.

Selama perayaan Natal, Akbar dan para bangsawan hadir di gereja untuk menyaksikan dekorasi kelahiran Yesus dan ikut serta dalam perayaan. Tradisi ini dilanjutkan oleh putranya, Jahangir, yang bahkan memberikan lebih banyak dukungan bagi gereja.

Namun, hubungan antara Kekaisaran Mughal dan Portugis memburuk pada tahun 1613 ketika Portugis menangkap kapal Mughal, Rahimi. Jahangir memerintahkan penangkapan kota Daman dan seluruh pendeta Jesuit di wilayah Mughal.

Konflik ini berlanjut hingga masa pemerintahan putra Jahangir, Shah Jahan yang juga seorang arsitek Taj Mahal. Sebagai bagian dari perundingan damai, Shah Jahan setuju untuk membebaskan para pendeta dengan syarat Gereja Akbar dihancurkan pada tahun 1635.

Bangunan gereja yang berdiri saat ini sebenarnya adalah hasil renovasi tahun 1769 oleh Walter Reinhardt, seorang tentara bayaran Eropa. Gereja ini menjadi saksi bisu toleransi beragama yang luar biasa dari Akbar.

Melalui tindakannya, Akbar membuktikan bahwa kekuatan seorang pemimpin tidak hanya diukur dari keberhasilan militer, tetapi juga dari kemampuannya merangkul perbedaan. (Lsa)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: