KATHMANDU | Priangan.com – Api dan asap hitam mengepul di langit Kathmandu pada September 2025. Ribuan massa yang marah melampiaskan kekecewaan dengan membakar Singha Durbar, bangunan bersejarah yang selama lebih dari satu abad menjadi jantung pemerintahan Nepal. Pemandangan mengenaskan itu seolah menyingkap rapuhnya hubungan antara rakyat dan negara. Singha Durbar yang dulu menjelma simbol kemegahan politik, kini roboh di hadapan murka masyarakatnya sendiri.
Dilansir dari National Geographic, kisah Singha Durbar jauh lebih panjang daripada sekadar tragedi yang baru saja terjadi. Dibangun pada 1908 oleh Chandra Shumsher Jang Bahadur Rana, istana ini awalnya adalah kediaman pribadi perdana menteri paling berkuasa dari keluarga Rana. Ukurannya begitu megah hingga disebut sebagai istana terbesar di Asia pada masanya. Lebih dari 1.700 ruangan, taman luas, serta perabotan impor dari Eropa memperlihatkan ambisi keluarga Rana untuk menunjukkan kemewahan sekaligus supremasi. Gaya arsitektur yang memadukan neoklasik, Palladian, dan Barok Eropa menandai keinginan mereka untuk menyamai kebesaran Barat.
Selama lebih dari satu abad, keluarga Rana mengendalikan Nepal. Dari tahun 1846 hingga 1951, mereka menjalankan pemerintahan otokratis yang menempatkan kekuasaan di tangan segelintir orang. Singha Durbar menjadi simbol kejayaan sekaligus jarak yang lebar antara penguasa dan rakyat. Seperti ditulis dalam catatan SkulTech, istana itu melambangkan penegasan supremasi, bukan hanya terhadap monarki, tetapi juga terhadap pengaruh asing.
Semua berubah ketika Revolusi Demokrasi 1951 menggulingkan rezim Rana. Singha Durbar beralih fungsi dari rumah pribadi menjadi pusat pemerintahan. Kantor perdana menteri, dewan menteri, hingga kementerian utama ditempatkan di dalamnya. Pergeseran ini menggambarkan langkah besar Nepal dari otokrasi feodal menuju demokrasi yang masih dalam tahap percobaan.
Namun, sejarah Singha Durbar kembali bergejolak. Pada 1960, Raja Mahendra melancarkan kudeta, membubarkan parlemen, dan memperkenalkan sistem Panchayat yang memperkuat monarki otoriter. Singha Durbar pun kembali menjadi simbol kendali terpusat, kali ini di bawah kuasa kerajaan. Baru setelah Gerakan Rakyat 1990 dan terutama Janaandolan II pada 2006, istana bersejarah ini memperoleh lagi citra demokratisnya.
Di balik perjalanan politiknya, Singha Durbar juga kerap menghadapi bencana. Kebakaran hebat pada 1973 melalap sebagian besar kompleks megah itu. Dari ribuan ruangan, hanya sebagian yang berhasil diselamatkan melalui proses restorasi. Luka lain datang saat gempa bumi Gorkha pada 2015 merusak strukturnya dan memaksa pemerintah melakukan renovasi besar-besaran. Hingga kini, sayap timur dan barat masih difungsikan sebagai kantor pemerintahan, meskipun kejayaan asli istana itu hanya bisa dikenang lewat catatan sejarah dan foto lama.
Bagi rakyat Nepal, Singha Durbar selalu lebih dari sekadar bangunan. Singha Durbar berdiri sebagai lambang kekuasaan, pusat pengambilan keputusan, sekaligus bayangan birokrasi yang sering terasa jauh dari kehidupan sehari-hari. Gerbang besi tinggi, tembok kokoh, dan penjagaan ketat menambah kesan misterius. Tidak heran jika dalam sastra, kartun politik, hingga serial televisi, Singha Durbar kerap muncul sebagai metafora perebutan kekuasaan dan drama politik. Bahkan nama “Singha Durbar” sendiri kerap dipakai untuk menyebut pemerintahan Nepal, mirip dengan “Whitehall” di Inggris atau “Capitol Hill” di Amerika Serikat.
Meski begitu, persepsi masyarakat tidak selalu positif. Bagi sebagian orang, Singha Durbar identik dengan birokrasi lamban dan ketidakstabilan politik. Suara publik yang mendesak agar istana ini lebih terbuka semakin menguat. Ada usulan untuk membuka tur terbatas hingga digitalisasi arsip sejarah, agar rakyat bisa merasa lebih dekat dengan tempat yang selama ini menjadi pusat pengambilan keputusan.
Namun, semua rencana itu hancur sementara waktu pada September 2025. Api yang membakar Singha Durbar bukan hanya menghanguskan dinding dan pilar, tetapi juga melambangkan terbakarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Berbeda dengan kebakaran 1973 yang murni musibah, kali ini kobaran api datang dari tangan rakyat sendiri. Peristiwa itu menjadi penanda bahwa simbol-simbol kekuasaan tidak akan pernah berdiri kokoh tanpa kepercayaan dan legitimasi.
Sejak kerusakan besar itu, pemerintah Nepal telah memulai upaya pembersihan dan penilaian kerugian. Kendaraan yang terbakar di dalam kompleks Singha Durbar sudah dipindahkan, cat bangunan mulai diperbaiki, dan beberapa kantor kementerian sedang dievaluasi untuk rehabilitasi. Namun, gedung Kantor Perdana Menteri dan Dewan Menteri telah berubah jadi reruntuhan dengan bagian barat istana hancur total.
Kini Singha Durbar berdiri di persimpangan baru dengan pertanyaan, apakah Nepal akan memilih untuk menghidupkannya kembali sebagai pusat pemerintahan, mengonversinya menjadi monumen warisan negara, atau membiarkannya menjadi reruntuhan terbuka, sebagai pengingat akan kerusakan institusional dan kegagalan legitimasi politik? Jawabannya akan menggambarkan sejauh mana Nepal mampu menyelesaikan luka masa lalu dan membangun kembali kepercayaan publik.
Singha Durbar kini adalah lebih dari sekadar bangunan, ia adalah arsip hidup yang menyimpan lapisan otokrasi Rana, masa demokrasi, tragedi kebakaran, dan kemarahan rakyat. Masa depan istana ini tergantung pada bagaimana Nepal menangani demokrasi, federalisme, dan rekonsiliasi politik. (LSA)