PARIS | Priangan.com – Pada tahun 1914, ketika Perang Dunia Pertama mulai mengguncang Eropa, sebuah pemandangan tak biasa muncul di antara deru kendaraan militer dan dentuman meriam di Prancis. Sebuah mobil van tua melintas di dekat garis depan, bukan membawa senjata, melainkan peralatan ilmiah. Di dalamnya duduk Marie Curie dan putrinya, Irène, dua perempuan yang memegang peran penting di balik penyelamatan ribuan nyawa tentara. Mobil itu dilengkapi mesin sinar-X portabel, rancangan Curie sendiri yang memungkinkan dokter menemukan peluru di tubuh prajurit tanpa harus menebak letaknya. Penemuan sederhana ini menjadi tonggak penting dalam sejarah kedokteran militer, membuka babak baru dalam penggunaan sains untuk kemanusiaan.
Beberapa tahun sebelumnya, dunia telah mengenal nama Marie Curie sebagai ilmuwan luar biasa. Ia bukan hanya perempuan pertama yang meraih gelar doktor di Prancis, tetapi juga sosok pertama di dunia yang memenangkan dua Hadiah Nobel di bidang berbeda, yaitu fisika dan kimia.
Namun, yang membuat kisahnya begitu berharga bukan sekadar pencapaian akademik, melainkan bagaimana ia menjadikan pengetahuannya alat untuk menolong manusia.
Sebagaimana dilansir dari BritishRedCross, Marie lahir pada tahun 1867 di Warsawa, Polandia, dengan nama Maria Skłodowska. Masa kecilnya dijalani dalam keterbatasan akibat penjajahan Rusia, di mana kesempatan belajar bagi perempuan masih sangat terbatas. Rasa ingin tahunya yang besar dan semangat belajar yang tak pernah padam membawanya merantau ke Paris pada usia dua puluh empat tahun.
Di Paris, ia menempuh pendidikan di Universitas Sorbonne dan bertemu dengan Pierre Curie, seorang fisikawan Prancis yang dikenal karena penelitiannya tentang kristal dan magnetisme. Pierre bekerja di École de Physique et Chimie Industrielles de la Ville de Paris (ESPCI), tempat ia memimpin sebuah laboratorium riset fisika.
Di sanalah Pierre mengizinkan Marie menggunakan fasilitas laboratoriumnya untuk penelitian tesisnya. Kedekatan intelektual keduanya berkembang menjadi kemitraan sejati setelah mereka menikah pada tahun 1895. Sejak itu mereka bekerja bersama meneliti fenomena baru yang disebut “invisible light” atau “cahaya tak terlihat”, sinar-X yang baru ditemukan di Jerman.
Penelitian mereka kemudian mengarah pada penemuan dua unsur baru: polonium dan radium. Marie menemukan bahwa beberapa zat memancarkan sinar yang tidak dipengaruhi oleh panas atau bahan kimia, melainkan berasal dari dalam atom itu sendiri. Fenomena ini ia namai “radioaktivitas”. Penemuan tersebut mengubah arah ilmu fisika modern dan menjadi dasar bagi banyak teknologi medis yang digunakan hingga saat ini.
Pada tahun 1903, Pasangan Curie bersama Henri Becquerel, seorang fisikawan asal Prancis, dianugerahi Hadiah Nobel Fisika atas penelitian mereka tentang radioaktivitas. Meski dunia sains masih didominasi laki-laki, nama Marie Curie berdiri sejajar dengan para ilmuwan besar.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Pada tahun 1906, Pierre tewas dalam kecelakaan tragis, meninggalkan duka mendalam bagi Marie. Meski terpukul, ia memilih untuk melanjutkan perjuangan ilmiahnya. Ia menggantikan posisi suaminya sebagai profesor di Universitas Sorbonne, menjadikannya perempuan pertama yang mengajar di sana dan terus meneliti hingga akhirnya menerima Hadiah Nobel kedua pada tahun 1911 di bidang kimia.
Ketika perang pecah, Marie tidak tinggal diam. Ia menyadari bahwa sinar-X bisa menjadi penyelamat di medan tempur. Dengan bermodalkan tekad kuat, ia mengajukan gagasan kepada pemerintah Prancis untuk mendirikan pusat radiologi militer pertama dan mengembangkan unit sinar-X keliling.
Mobil van yang ia ciptakan kemudian dikenal sebagai petite Curie. Petite Curie menjadi alat penting bagi tim medis untuk mendiagnosis luka dengan cepat dan akurat. Bersama putrinya, Irène, ia turun langsung ke garis depan, melatih perawat dan relawan untuk mengoperasikan mesin-mesin sinar-X tersebut. Lebih dari dua ratus kendaraan sejenis akhirnya digunakan di berbagai lokasi perang.
Dedikasinya tidak berhenti di situ. Ia bahkan sempat menawarkan untuk melebur dua medali emas Nobel miliknya guna membantu biaya perang Prancis, meski tawaran itu ditolak. Tindakannya menunjukkan bahwa bagi Marie Curie, ilmu pengetahuan tidak hanya tentang penemuan, tetapi juga tentang tanggung jawab moral terhadap kemanusiaan.
Irène Joliot-Curie kemudian melanjutkan jejak sang ibu. Setelah perang berakhir, ia menjadi asisten Marie di Institut Radium dan akhirnya turut menemukan atom radioaktif buatan pertama, yang membuka jalan bagi kemajuan besar dalam pengobatan kanker. Hubungan antara keduanya bukan sekadar ibu dan anak, tetapi dua generasi ilmuwan perempuan yang menjadikan sains sebagai bentuk pengabdian.
Marie Curie meninggal dunia pada tahun 1934 karena anemia aplastik, penyakit yang disebabkan oleh paparan radiasi jangka panjang.
Namun, warisannya terus hidup. Teknologi radiologi yang ia kembangkan kini menjadi bagian penting dari dunia kedokteran modern. Namanya juga diabadikan melalui Rumah Sakit Marie Curie yang didirikan di London pada 1930, yang kemudian berkembang menjadi Yayasan Marie Curie, lembaga amal terbesar di Inggris dalam penelitian dan perawatan pasien penyakit terminal.
Kini nama Marie Curie tetap bersinar seperti cahaya yang dulu ia kejar, cahaya tak terlihat yang mengubah cara manusia memahami kehidupan. Dari laboratorium sederhana hingga garis depan perang, ia menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan bisa menjadi bentuk keberanian dan kasih sayang yang paling tulus. Melalui radium, sinar-X, dan semangat kemanusiaannya, Marie Curie meninggalkan warisan yang tak hanya menerangi dunia sains, tetapi juga hati umat manusia. (LSA)

















