JAKARTA | Priangan.com – Bung Hatta. Begitu saapaan akrab pria bernama lengkap Mohammad Hatta ini. Ia adalah pahlawan nasional, tokoh proklamator, sekaligus mantan Wakil Presiden RI pertama. Kabar kematiannya pada tanggal 14 Maret 1980 tentu membuat sebagian besar masyarakat Indonesia sedih kala itu. Banyak orang merasa kehilangan salah satu tokoh besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia ini.
Bung Hatta tak hanya dihormati karena perannya dalam kemerdekaan Indonesia, tetapi juga karena hidupnya yang penuh dengan kesederhanaan dan keteguhan pada prinsip-prinsip moral. Meski dikenal sebagai sosok yang bersahaja, ternyata ada satu keinginan sederhana yang ternyata tak pernah tercapai selama hidupnya. Itu adalah sepasang sepatu Bally.
Ya, sebuah sepatu yang pada saat itu terkenal bagus. Sepatu ini hanya bisa dimiliki oleh kalangan tertentu saja. Namun, bukan itu yang sebenarnya Bung Hatta cari. Bukan kemewahan yang diinginkannya. Sepatu Bally yang terkenal kuat dan awet, dirasa sangat cocok dengan kesehariannya sebagai seorang wakil presiden.
Sayang seribu sayang, selama hidup di dunia ini, keinginan itu tak pernah terwujud. Ketika uang yang dimilikinya sudah mencukupi untuk membeli sepatu, selalu ada saja halangan. Entah itu kebutuhan hidup keluarganya, atau masyarakat yang membutuhkan bantuan. Satu hal yang pasti, Bung Hatta selalu mendahulukan kepentingan mereka ketimbang keinginannya.
Hingga akhir hayatnya, sepasang sepatu Bally yang diinginkan Bung Hatta hanyalah sebatas angan. Bahkan, setelah kepulangannya, pihak keluarga sempat menemukan brosur iklan sepatu itu terlipat rapi di dompetnya. Hal ini menunjukkan betapa Bung Hatta begitu mengidamkan sepatu tersebut. Tapi, sekali lagi, ia lebih mementingkan kepentingan orang lain ketimbang keinginannya.
Selain kisah tentang sepatu Bally, kesederhanaan Bung Hatta juga terlihat dalam wasiat terakhirnya. Meskipun dirinya berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan berkat jasa-jasanya negara, Bung Hatta justru lebih memilih untuk dimakamkan di pemakaman umum Tanah Kusir, Jakarta. Baginya, tak perlu ada perlakuan istimewa walaupun dirinya menyandang status sebagai seorang pahlawan nasional. (ldy)