Kiprah Modibo Keita dalam Mencatat Lembar Pertama Sejarah Kemerdekaan Mali

BAMAKO | Priangan.com – Pada masa ketika banyak negara di Afrika sedang berjuang untuk lepas dari penjajahan, seorang guru dari Bamako muncul sebagai tokoh yang mengubah arah sejarah negerinya. Namanya Modibo Keita, seorang pendidik yang menjelma menjadi pemimpin revolusioner.

Ia bukan hanya memperjuangkan kemerdekaan Mali dari Prancis, tetapi juga berusaha membangun negara yang berdiri di atas kemandirian, keadilan sosial, dan martabat bangsanya. Sosoknya begitu berwibawa hingga Charles de Gaulle, presiden Prancis kala itu, pernah berkata bahwa Keita adalah satu-satunya kepala negara yang tak perlu ia tunduki saat berbicara, karena tinggi badannya sama menjulangnya dengan cita-citanya tentang Mali yang bebas.

Dilansir RT News, Modibo Keita lahir pada tahun 1915 di Bamako dari keluarga Muslim Mandinka. Masa kecilnya tampak biasa, namun semangat belajarnya luar biasa. Ia kemudian diterima di École Normale William-Ponty di Dakar, sekolah bergengsi yang mencetak banyak calon pemimpin Afrika Barat. Di sana, ia dikenal cerdas dan berpikiran kritis. Ia sering mempertanyakan ketidakadilan yang terjadi di bawah pemerintahan kolonial, sesuatu yang membuat para pengajarnya menganggapnya berbahaya secara politik. Dari sinilah semangatnya untuk memperjuangkan kemerdekaan mulai tumbuh.

Setelah lulus, Keita menjadi guru di berbagai daerah, dari Sikasso hingga Timbuktu. Melalui pekerjaannya, ia melihat langsung kesulitan hidup rakyat akibat sistem kolonial. Pengalaman itu mendorongnya untuk ikut dalam gerakan perlawanan. Ia mendirikan Serikat Guru Afrika Barat Prancis pada tahun 1937 dan menerbitkan majalah politik Mata Kenedougou yang berani mengkritik penjajahan.

Karena keberaniannya, ia sempat ditahan pada tahun 1946, tetapi hal itu justru membuat namanya semakin dikenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan.

Karier politik Keita terus berkembang. Pada tahun 1956, ia terpilih sebagai wali kota Bamako dan anggota Majelis Nasional Prancis. Ia juga menjadi salah satu orang Afrika pertama yang menduduki posisi tinggi di pemerintahan kolonial. Namun, kekuasaan tidak mengubah sikapnya. Ia tetap lantang menentang ketergantungan Mali pada Prancis. Bersama partainya, Union Soudanaise – Rassemblement Démocratique Africain (US-RDA), Keita memimpin perjuangan menuju kemerdekaan penuh bagi rakyatnya.

Lihat Juga :  16 Agustus 1945: Peristiwa Rengasdengklok

Pada tanggal 22 September 1960, Mali akhirnya memproklamasikan kemerdekaannya. Modibo Keita pun menjadi presiden pertama negara tersebut. Sejak awal, ia bertekad menjadikan Mali benar-benar mandiri, bukan sekadar bebas secara politik. Ia keluar dari Komunitas Prancis dan mengarahkan negaranya untuk membangun sistem sosialisme khas Mali, sosialisme yang tidak meniru Eropa, yang memadukan ideologi global dengan nilai-nilai lokal.

Namun, cita-cita besar itu tidak berjalan mulus. Tiga tahun setelah kemerdekaan, Mali diguncang pemberontakan Tuareg di wilayah utara. Keita menduga ada campur tangan Prancis di balik konflik ini. Sebelum Mali merdeka, beberapa perwira Prancis memang sempat membujuk para pemimpin suku nomaden agar menolak pemerintahan baru dan tetap berada di bawah pengaruh kolonial. Pemberontakan berhasil dipadamkan pada tahun 1964, tetapi ketegangan antara pemerintah dan kelompok Tuareg terus membekas hingga bertahun-tahun kemudian.

Lihat Juga :  Juliana, Ratu Paling Fenomenal Sepanjang Sejarah Takhta Belanda

Di bidang ekonomi, Keita berusaha melepaskan Mali dari ketergantungan pada Prancis. Ia menasionalisasi berbagai sektor penting seperti perbankan, perdagangan, dan transportasi. Pada tahun 1961, pemerintah mendirikan Perusahaan Impor dan Ekspor Mali (SOMIEX) untuk mengendalikan perdagangan luar negeri.

Setahun kemudian, Keita memperkenalkan mata uang baru, yaitu franc Mali, menggantikan franc CFA yang dianggap sebagai simbol ketergantungan ekonomi. “Mata uang adalah jaminan kebebasan dan alat kekuasaan,” ujarnya dalam pidatonya di Majelis Nasional.

Sayangnya, langkah-langkah tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Perekonomian Mali justru melemah. Pertumbuhan rendah, utang meningkat, dan biaya pemerintahan membengkak. Ironisnya, Prancis yang dulu ditentang tetap menjadi pemberi pinjaman terbesar bagi Mali. Keadaan ini membuat posisi Keita semakin sulit, baik di dalam negeri maupun di mata internasional.

Untuk mengurangi ketergantungan pada Barat, Keita menjalin hubungan erat dengan Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya. Bantuan dari blok Timur datang dalam berbagai bentuk, mulai dari pembangunan infrastruktur, pelatihan militer, hingga pendidikan. Ratusan mahasiswa Mali dikirim belajar ke Moskow, Praha, dan kota-kota Eropa Timur lainnya.

Lihat Juga :  Wanita di Balik Takhta: Kiprah Borte dalam Lahirnya Kekaisaran Mongol

Namun, tekanan politik dan ekonomi yang terus meningkat membuat pemerintahannya goyah. Keita mencoba menggelar “revolusi budaya” yang terinspirasi oleh kebijakan Tiongkok di masa Mao Zedong, tetapi hasilnya justru memperburuk keadaan. Kritik terhadap pemerintah dibungkam, dan kepercayaan masyarakat mulai runtuh. Pada 19 November 1968, sekelompok perwira muda yang dipimpin Letnan Moussa Traoré melancarkan kudeta tanpa pertumpahan darah. Keita digulingkan dan ditahan.

Ia menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya di penjara, jauh dari panggung politik. Pada tahun 1977, Modibo Keita meninggal dunia pada usia 61 tahun. Pemerintah menyebut penyebabnya adalah edema paru, tetapi banyak pihak menduga ia disiksa selama ditahan. Kematian Keita memicu kemarahan publik dan kerusuhan di Bamako, bukti bahwa rakyat masih mengingat perjuangannya.

Beberapa dekade kemudian, pemerintah Mali akhirnya memulihkan nama baiknya. Di bawah Presiden Alpha Oumar Konaré, Keita diakui kembali sebagai bapak pendiri bangsa. Sebuah monumen besar didirikan untuk menghormatinya pada tahun 1999, dan pada tahun 2016, Bandara Internasional Bamako-Senou resmi berganti nama menjadi Bandara Modibo Keita.

Kini, lebih dari setengah abad setelah kemerdekaan, warisan Keita tetap hidup dalam ingatan rakyat Mali. Ia dikenang bukan hanya sebagai presiden pertama, tetapi juga sebagai guru yang mengajarkan arti kebebasan, pemimpin yang menolak tunduk pada kolonialisme, dan manusia yang percaya bahwa kemerdekaan sejati tidak datang dari kekuasaan asing, melainkan dari tekad rakyat untuk berdiri di atas kaki mereka sendiri. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos