TASIKMALAYA | Priangan.com — Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya kini berada di titik kritis pengelolaan anggaran.
Bupati Cecep Nurul Yakin mengambil langkah tegas dengan menginstruksikan seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk menghentikan sementara aktivitas belanja yang bersumber dari APBD tahun anggaran 2025.
Kebijakan ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga menjadi sinyal betapa rapuhnya struktur fiskal daerah saat ini.
Keputusan penghentian ini dipicu oleh fakta bahwa pos Belanja Tidak Terduga (BTT) senilai Rp 28 miliar telah habis terserap dalam paruh pertama tahun anggaran.
“Kami harus mengambil keputusan yang tidak populer, namun realistis. Efisiensi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan,” ujar Cecep kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Instruksi ini didasarkan pada arahan nasional dan provinsi: Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja serta surat Gubernur Jawa Barat No. 1774/KU.03/BPKAD.
Menurut Cecep, langkah ini juga sebagai bagian dari evaluasi pelaksanaan APBD sebelum dilakukan revisi dalam APBD Perubahan mendatang.
Meski seluruh belanja OPD dihentikan sementara, beberapa pengecualian tetap diberlakukan. Pengeluaran rutin seperti pembayaran listrik, air, telepon, internet, serta gaji dan tunjangan ASN tetap berjalan.
Belanja desa yang bersumber dari ADD juga masih diberikan ruang untuk berproses. Namun, proyek-proyek pengadaan dan pembayaran kegiatan lainnya harus ditangguhkan.
“Semua OPD harus menyesuaikan. Jika bukan belanja wajib, maka harus ditunda. Kita tidak dalam situasi normal,” tegas Cecep.
Menanggapi kebijakan tersebut, Wakil Bupati Tasikmalaya Asep Sopari Al Ayubi turut mengakui kondisi keuangan daerah yang memprihatinkan. Ia menyoroti dampaknya terhadap infrastruktur dasar, terutama jalan yang rusak parah.
“Kita tidak bisa menutup mata. Hampir separuh jalan kabupaten dalam kondisi sangat rusak. Bahkan penghubung Mangunreja dan Tanjungjaya belum tuntas karena BTT sudah habis,” ujar Asep.
Ia juga menyinggung bahwa sebagian dana dialihkan untuk kegiatan tanggap darurat lainnya, termasuk penanganan bencana yang memaksa Pemda mengesampingkan perbaikan jalan.
Kondisi ini menunjukkan tantangan berat dalam pengelolaan fiskal daerah. Banyak program harus dikaji ulang, dipangkas, atau bahkan dihapus. Pemerintah kabupaten harus melakukan skala prioritas ketat agar anggaran benar-benar terserap pada kebutuhan esensial masyarakat.
Meski pahit, langkah ini menjadi momen refleksi bahwa perencanaan anggaran tak bisa lagi bersifat rutin-formalistik. Harus ada pergeseran pola pikir menuju efisiensi strategis dan kesiapsiagaan dalam menghadapi dinamika fiskal nasional dan lokal. (yna)