Ketimpangan Gaji DPRD dan UMR di Kota Tasikmalaya

Oleh: Asep Chahyanto, Pengamat sosial politik

MEDIA lokal Kota Tasikmalaya pada 17 September 2025 memberitakan sikap bungkam Pimpinan DPRD Kota Tasikmalaya ketika ditanya mengenai tunjangan yang ia terima. Sikap ini dapat dipahami, sebab jika dijawab terbuka, publik akan melihat betapa besarnya jurang ketimpangan antara penghasilan anggota dewan dan masyarakat, termasuk mereka yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan jika dibandingkan dengan pekerja formal yang bergaji sesuai upah minimum regional (UMR), ketimpangan tersebut tampak mencolok.
Besaran Gaji dan Tunjangan DPRD

Isu kesejahteraan masyarakat di Kota Tasikmalaya kerap bersinggungan dengan gaji pejabat publik. Berdasarkan pemberitaan Kabar Priangan (17 September 2025), Ketua DPRD menerima hingga Rp.72,1 juta per bulan, Wakil Ketua Rp.69,58 juta, dan anggota DPRD sekitar Rp.69 juta.

Komponen terbesar berasal dari tunjangan perumahan (Rp19–29,2 juta), tunjangan transportasi (lebih dari Rp17 juta), serta tunjangan komunikasi (lebih dari Rp10 juta). Jumlah tersebut masih bersifat kotor sebelum dipotong pajak.

Sebagai pembanding, UMR Kota Tasikmalaya 2025 ditetapkan Rp.2.141.520,24 (SK Gubernur Jawa Barat Nomor 561.7/Kep.804-Kesra/2024). Artinya, seorang anggota DPRD menerima penghasilan setara 32 kali lipat gaji minimum pekerja di daerahnya.

Tunjangan Komunikasi Intensif dan Reses

Data Lampiran I APBD Kota Tasikmalaya Tahun Anggaran 2025 masih mencatat pos:

•Belanja Tunjangan Komunikasi Intensif DPRD sebesar Rp.5,63 miliar
•Belanja Tunjangan Reses DPRD sebesar Rp.1,41 miliar

1. Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI)

TKI sebelumnya diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 2004, yang kemudian diubah dengan PP 37/2005 dan PP 21/2007.

•Pasal 20A (PP 37/2005 hasil perubahan) menyebut:
“Pimpinan dan anggota DPRD diberikan tunjangan komunikasi intensif yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Daerah.”
Penjelasannya, TKI adalah tambahan penghasilan di luar uang representasi, tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, dan tunjangan lainnya. Biasanya diberikan bulanan dengan besaran berbeda antar daerah.

Lihat Juga :  Pengamat: Perwalkot Tunjangan DPRD Bisa Picu Gelombang Protes Baru di Kota Tasikmalaya

Namun sejak terbitnya PP Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD, nomenklatur TKI tidak lagi tercantum dalam daftar hak keuangan DPRD (Pasal 17–24). Jenis hak yang diatur hanya meliputi:

1.Uang representasi
2.Tunjangan keluarga
3.Tunjangan beras
4.Tunjangan jabatan pimpinan
5.Tunjangan alat kelengkapan
6.Tunjangan kehormatan
7.Tunjangan reses
8.Tunjangan transportasi (jika tidak disediakan kendaraan dinas)
9.Uang paket
10.Belanja penunjang operasional pimpinan

Karena TKI tidak lagi dimasukkan dalam struktur tunjangan DPRD, maka secara regulasi dasar hukumnya sudah tidak berlaku. Dengan kata lain, DPRD tidak memiliki landasan untuk menerima TKI dari APBD.

2. Tunjangan Reses

Reses adalah bagian dari fungsi DPRD untuk menyerap aspirasi masyarakat. Dalam APBD Kota Tasikmalaya, biaya reses DPRD sebagaimana tercantum di Lampiran 1 Perkada, dicatat sebagai tunjangan personal, bukan belanja kegiatan. Hal ini terlihat dari nomenklatur “Belanja Tunjangan Reses DPRD”, yang dibayarkan kepada setiap anggota DPRD.

Lihat Juga :  Zero Kecelakaan Lebaran, Warga Salawu Terima Penghargaan Berkat Aksi Ganjal Kendaraan

Adapun biaya teknis pelaksanaan reses (misalnya sewa tenda, konsumsi, ATK, dokumentasi) bisa muncul lagi di belanja kegiatan Sekretariat DPRD dengan kode akun berbeda.

Namun demikian, sesuai Permendagri No. 86/2017 dan Permendagri No. 77/2020, biaya reses semestinya dicatat sebagai belanja kegiatan, bukan tunjangan personal. Jika pencatatan masih menggunakan pola lama, maka berpotensi menimbulkan perbedaan interpretasi aturan dan menjadi perhatian dalam pemeriksaan BPK.

Mekanisme Pajak dan Privilege Tambahan

Aspek lain yang jarang muncul dalam perbincangan publik adalah mekanisme pajak atas penghasilan DPRD. Sebagian penghasilan anggota dewan ditanggung APBD, termasuk uang representasi, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan.

Sebaliknya, pekerja bergaji UMR justru dipotong pajak penghasilan, iuran BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan demikian, take home pay mereka lebih kecil dari nominal UMR.

Lihat Juga :  Demokrasi Tanpa Rakyat: Oligarki, Partai, dan Krisis Kebangsaan

Perbedaan mekanisme ini menambah jurang kesejahteraan antara wakil rakyat dan rakyatnya.

Dampak Sosial dan Politik

Ketika masyarakat menyaksikan kesenjangan yang begitu mencolok, rasa ketidakadilan mudah muncul. Apalagi, kinerja DPRD sering dipersepsikan minim prestasi—legislasi yang berjalan lamban atau sekadar memberi legitimasi pada kebijakan eksekutif.

Sementara itu, buruh pabrik, petani, hingga guru honorer harus berjuang keras dengan penghasilan terbatas. Ketimpangan seperti ini berisiko menumbuhkan sinisme terhadap demokrasi dan melemahkan legitimasi lembaga legislatif.
Jalan Tengah yang Mungkin

Opini ini bukan hendak menolak pentingnya kesejahteraan wakil rakyat. DPRD tetap membutuhkan dukungan finansial yang memadai agar dapat bekerja dengan optimal tanpa tergoda praktik korupsi.

Namun, besaran gaji dan tunjangan sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan fiskal daerah serta standar hidup masyarakat. Salah satu opsi yang layak dipertimbangkan adalah mengaitkan gaji DPRD dengan UMR daerah. Misalnya, ditetapkan maksimal tujuh kali lipat UMR. Dengan begitu, anggota DPRD Kota Tasikmalaya hanya akan menerima sekitar Rp14–15 juta per bulan.

Skema ini akan lebih adil sekaligus menumbuhkan empati, karena wakil rakyat merasakan langsung standar hidup yang dijalani masyarakatnya. Selain itu, perlu ada transparansi pajak. Jika pekerja kecil dipotong pajak, maka pejabat publik seharusnya tunduk pada aturan yang sama.

Penutup

Demokrasi seharusnya dijalankan dengan prinsip keadilan, bukan keistimewaan. Perbandingan antara gaji DPRD dan UMR Kota Tasikmalaya menegaskan adanya ketidakseimbangan serius yang perlu segera dibenahi.

Jika dibiarkan, demokrasi akan kehilangan makna substantifnya, yaitu memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Wakil rakyat sebaiknya tampil sebagai teladan kesederhanaan, bukan simbol kemewahan.

Pertanyaan reflektifnya: siapakah yang sebenarnya menanggung beban paling berat dalam menopang kehidupan berbangsa ini — para pekerja dengan gaji UMR, atau pejabat publik dengan penghasilan puluhan kali lipat lebih besar? (*)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos