Historia

Ketika ‘Kejelekan’ Dianggap Kejahatan: Jejak Hukum yang Tidak Manusiawi di Amerika Serikat

Luigi Mendicino, Polisi Stephen Schumack, kiri, menuntun seorang pria lumpuh ke sebuah mobil polisi pada 22 Juli 1954, dari area skid row di Chicago. | Chicago Tribune.

SAN FRANCISCO| Priangan.com – Siapa yang pernah menyangka bahwa berpenampilan dianggap “jelek” di tempat umum dapat dikenai denda dan dianggap sebagai pelanggaran hukum? Namun, hal ini benar-benar terjadi di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19.

Peraturan tersebut dikenal sebagai “Ugly Laws” atau “Hukum Kejelekan,” yang melarang orang dengan penyakit, cacat, atau kondisi fisik yang dianggap tidak sedap dipandang untuk muncul di tempat umum.

Peraturan ini mulai muncul pada tahun 1867 di San Francisco, Amerika Serikat. Undang-undang tersebut diberlakukan untuk melarang pengemis dan menahan orang-orang dengan kondisi tertentu agar tidak terlihat di jalanan atau tempat umum. Pemerintah kota saat itu percaya bahwa keberadaan individu dengan kondisi fisik yang dianggap tidak normal dapat menimbulkan ketakutan di masyarakat.

Seiring waktu, aturan serupa mulai diterapkan di berbagai kota besar lainnya seperti Chicago, New York, dan Cleveland. Pada tahun 1881, Dewan Kota Chicago mengesahkan peraturan yang melarang individu dengan “kelemahan” atau disabilitas untuk mengemis atau menampakkan diri di tempat umum. Mereka yang melanggar aturan ini akan didenda sebesar $1 hingga $50 dan dikirim ke Rumah Miskin Cook County. Namun, peraturan ini memberikan pengecualian bagi veteran perang yang mengalami disabilitas sebagai bentuk penghormatan atas jasa mereka.

Pada masa itu, peraturan ini mendapat dukungan dari sebagian masyarakat dengan alasan kesehatan dan kebersihan publik. Ada kepercayaan bahwa melihat seseorang dengan cacat fisik dapat menyebabkan orang sehat merasa mual atau bahkan jatuh sakit. Akibatnya, jalanan “dibersihkan” dari mereka yang dianggap mengganggu pemandangan.

Namun, aturan ini berdampak besar terhadap kehidupan para penyandang disabilitas. Banyak dari mereka kehilangan mata pencaharian, terutama mereka yang bekerja sebagai pedagang kaki lima, pengemis, atau seniman jalanan.

Tonton Juga :  Mengungkap Misteri Jalur Sutra, Rute Legendaris yang Mengubah Sejarah Dunia

Contohnya, pada pertengahan tahun 1910-an di Cleveland, seorang pria berusia 35 tahun yang memiliki tangan dan kaki cacat terpaksa berhenti bekerja sebagai penjual koran karena hukum ini. Ia kesulitan mencari nafkah hingga akhirnya seorang pemilik toko obat mengizinkannya berjualan di depan tokonya agar ia tetap berada di properti pribadi dan tidak melanggar hukum kota.

Peraturan ini juga memperdalam kesenjangan sosial antara orang kaya dan miskin. Jika seseorang dapat bekerja dan menghidupi diri sendiri, mereka dianggap layak. Sebaliknya, jika mereka tidak bisa bekerja, mereka dianggap “jelek” dan tidak pantas berada di ruang publik.

Akibatnya, banyak orang yang sebenarnya mampu bekerja tetapi sulit mendapatkan kesempatan karena diskriminasi yang dilegalkan oleh peraturan ini.

Seiring berjalannya waktu, pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas mulai berubah, terutama setelah Perang Dunia I. Banyak tentara kembali dari medan perang dalam kondisi cacat, kehilangan anggota tubuh, buta, atau tuli. Hal ini mendorong masyarakat untuk lebih menerima keberadaan penyandang disabilitas dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Pada tahun 1974, peraturan tentang kejelekan akhirnya dicabut di seluruh Amerika Serikat dan Chicago menjadi kota terakhir yang mencabut aturan ini. Penyandang disabilitas mulai mendapatkan aksesibilitas yang lebih baik di ruang publik.

Puncaknya terjadi pada tahun 1990, ketika pemerintah Amerika Serikat mengesahkan Americans with Disabilities Act (ADA), sebuah undang-undang yang melindungi hak-hak penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk akses terhadap pekerjaan, transportasi, dan fasilitas umum.

Sejarah “Ugly Laws” merupakan contoh nyata bagaimana diskriminasi terhadap penyandang disabilitas pernah dilegalkan atas nama ketertiban sosial.

Meskipun undang-undang ini telah dicabut, perjuangan untuk kesetaraan bagi penyandang disabilitas masih terus berlanjut. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa kebijakan publik harus selalu berpihak pada inklusivitas dan keadilan bagi semua orang, tanpa memandang kondisi fisik mereka. (Lsa)

Tonton Juga :  Kisah Bung Hatta Jadikan Buku Filsafat sebagai Mas Kawin untuk Rachmi
zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: