Kerusuhan di New York Terjadi Hanya Karena Topi Jerami

NEW YORK | Priangan.com – Di masa sekarang, salah kostum biasanya hanya mengundang tawa ringan atau ejekan teman. Sulit dibayangkan sebuah aksesori fesyen bisa memicu kerusuhan. Namun, New York pada awal abad ke-20 punya cerita lain tentang topi jerami. Sebuah benda sederhana yang identik dengan musim panas ini pernah menjadi sumber kekacauan kota besar, bahkan sampai menggerakkan geng pemuda bersenjata tongkat berpaku.

Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, topi adalah bagian penting dari gaya pria. Baik di musim dingin maupun musim panas, hampir setiap pria di Amerika tidak pernah keluar rumah tanpa penutup kepala. Namun, saat cuaca panas, topi berbahan felt atau sutra terasa pengap. Itulah sebabnya, sejak awal 1900-an, topi jerami atau boater mulai populer. Awalnya hanya dipakai dalam kegiatan santai seperti berperahu, topi ini perlahan diterima sebagai aksesori musim panas yang sah, bahkan di kalangan profesional.

Meski demikian, dilansir dari Amusing Planet, masyarakat memegang teguh etiket musiman yang tidak tertulis. Ada aturan keras bahwa topi jerami hanya boleh dipakai hingga 15 September. Lewat dari tanggal itu, siapa pun yang masih berani mengenakannya dianggap “kampungan” dan pantas dihukum sosial. Hukuman itu biasanya datang dari anak-anak jalanan atau remaja nakal yang dengan seenaknya menjambret topi dari kepala orang, melemparnya ke tanah, lalu menginjaknya hingga hancur. Tak ada yang tahu pasti mengapa 15 September dijadikan batas, bukan Hari Buruh atau akhir musim panas secara astronomis.

Namun, makna simbolisnya jelas, setelah tanggal itu, musim gugur akan tiba, sehingga mengenakan topi jerami setelah itu dianggap sebagai tanda ketidakberadaban.

Awalnya, tradisi ini dianggap sekadar ulah iseng anak muda. Namun, laporan surat kabar menunjukkan bahwa permainan ini kerap berujung pada kekerasan. The Pittsburg Press pada 15 September 1910 mencatat bahwa polisi terpaksa turun tangan beberapa kali untuk melindungi pejalan kaki dari serangan penjambret topi. Artikel itu bahkan memperingatkan bahwa kebiasaan ini bisa berubah menjadi bahaya nyata bila ada orang yang menganggap penjambretan sebagai serangan fisik. Ramalan itu terbukti benar pada 1922.

Lihat Juga :  Lahir di Tengah Keterbatasan, Si Huma Hadir Sebagai Animasi Pertama Indonesia pada 1983

Kerusuhan besar topi jerami pecah di New York pada September tahun itu. Anehnya, semuanya dimulai lebih awal dari biasanya. Pada 13 September, beberapa remaja di kawasan Mulberry Bend mulai menjambret topi-topi pekerja pelabuhan. Para buruh marah dan melawan, hingga pecah perkelahian di Jembatan Manhattan yang sempat menghentikan lalu lintas. Dari insiden kecil itu, api kerusuhan menyebar. Malamnya, gerombolan pemuda berkeliaran membawa tongkat, bahkan ada yang dipasangi paku, untuk menyerang siapa pun yang kedapatan masih memakai topi jerami.

Lihat Juga :  Mengubah Arah, Menyelamatkan Nyawa: Pelajaran dari Hari H Swedia

The New York Times pada 14 September 1922 melaporkan bahwa kerusuhan menyebar ke East Side dan Upper West Side. Ratusan remaja meneror blok-blok kota, menjambret dan menghancurkan topi orang-orang. Polisi dibuat kewalahan. Seorang sersan dilaporkan tersungkur ke selokan ketika mencoba mengejar sekelompok anak yang baru saja menghancurkan topinya. Bahkan seorang detektif pun tak luput menjadi korban serangan.

Kekerasan berlangsung tiga hari, menimbulkan banyak korban luka dan puluhan penangkapan. Sebagian besar pelaku masih berusia belasan tahun, sehingga hanya dijatuhi hukuman ringan atau sekadar diserahkan kepada orang tua mereka.

Ironisnya, di tengah kerusuhan itu, toko-toko topi justru meraup untung besar. Mereka membuka lapak hingga larut malam untuk memenuhi permintaan warga yang buru-buru mengganti boater mereka dengan topi felt, sekadar agar bisa berjalan di jalanan tanpa ketakutan.

Meski tidak ada korban jiwa pada 1922, insiden ini meninggalkan jejak panjang. Dua tahun kemudian, kerusuhan serupa menelan satu nyawa ketika seorang pria terbunuh karena mempertahankan topi jeraminya. Pada 1925, insiden serupa kembali mengguncang kota, menghasilkan banyak penangkapan. Barulah pada 1930-an, ketika tren topi jerami digantikan oleh topi Panama dan Depresi Besar melanda Amerika, tradisi penghancuran boater benar-benar pudar.

Lihat Juga :  Tammany Hall, Tempat yang Tumbuh dari Korupsi dan Pengkhianatan

Kerusuhan topi jerami mungkin terdengar konyol bagi kita sekarang, tetapi ini menyingkap wajah lain dari masyarakat urban tentang bagaimana norma sosial dan gengsi mode bisa mengendalikan perilaku massa hingga memicu kekerasan. Di New York tempo dulu, sebuah topi sederhana bisa menentukan apakah seseorang pulang dengan kepala tegak, atau pulang dengan wajah babak belur. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos