TASIKMALAYA | Priangan.com – Kenaikan tarif retribusi kios pasar yang diberlakukan Pemerintah Kota Tasikmalaya sejak awal 2025 mulai berdampak serius terhadap pendapatan daerah. Hingga pertengahan Desember 2025, realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pasar Resik 1 baru mencapai sekitar 60 persen dari target tahunan sebesar Rp1,45 miliar.
UPTD Pasar Resik 1 membawahi dua pasar utama, yakni Pasar Induk Cikurubuk dan Pasar Padayungan. Kepala UPTD Pasar Resik 1 Kota Tasikmalaya, Deri, mengungkapkan bahwa rendahnya serapan PAD tersebut tidak terlepas dari penolakan pedagang terhadap tarif retribusi baru yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Retribusi Kios Pasar.
“Kenaikan tarif retribusi yang mulai berlaku Januari 2025 menimbulkan penolakan dari para pedagang, khususnya yang tergabung dalam Himpunan Pedagang Pasar Tasikmalaya (Hipatas). Dampaknya, banyak pedagang menolak membayar retribusi,” ujar Deri saat ditemui di kantornya, Kamis (18/12/2025).
Menurut Deri, tarif retribusi yang melonjak membuat sebagian besar pedagang memilih bertahan tanpa membayar, bahkan ada yang menutup kiosnya. Kondisi ini paling terasa di Pasar Induk Cikurubuk, terutama di blok-blok bagian dalam yang kini banyak tidak beroperasi.
“Kios yang tutup semakin banyak. Kalau aktivitas perdagangan menurun, otomatis retribusi juga tidak masuk,” katanya.
Situasi serupa juga terjadi di Pasar Padayungan. Deri menyebut sekitar 70 persen kios di pasar tersebut kini dalam kondisi kosong dan rusak. Minimnya perbaikan infrastruktur serta lemahnya daya beli masyarakat membuat pedagang enggan beroperasi, sementara pengunjung pun semakin berkurang.
“Pasar jadi sepi. Kios rusak, pedagang tidak masuk, pengunjung berkurang. Ini lingkaran masalah yang makin berat,” ujarnya.
Dari sisi pedagang, kebijakan kenaikan tarif retribusi dinilai terlalu membebani, terutama bagi pedagang kecil yang pendapatannya tidak menentu. Ketua Perkumpulan Pedagang Pasar Kota Tasikmalaya (PPKT), Ahmad Zahid, membenarkan bahwa penolakan pedagang dipicu oleh lonjakan tarif yang dinilai tidak rasional.
Ia menjelaskan, melalui Perda Kota Tasikmalaya Nomor 1 Tahun 2024, tarif retribusi kios dan pelataran pasar mengalami kenaikan signifikan, bahkan mencapai 80 hingga 100 persen dibanding tarif sebelumnya.
“Tarif baru itu berkisar antara Rp250 sampai Rp500 per meter per hari. Kenaikan sebesar ini sangat memberatkan pedagang, apalagi kondisi pasar sedang lesu,” kata Ahmad Zahid.
Menurutnya, kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan kondisi riil pedagang di lapangan, khususnya di pasar tradisional yang tengah terdesak oleh persaingan pasar modern dan penurunan daya beli masyarakat.
“Kami bukan menolak bayar retribusi, tapi kenaikannya terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan kondisi pasar. Infrastruktur pasar juga banyak yang belum dibenahi,” ujarnya.
Ahmad Zahid menilai, apabila kebijakan tarif ini tidak dievaluasi, maka bukan hanya pedagang yang dirugikan, tetapi juga pemerintah daerah karena target PAD justru sulit tercapai.
“Kalau pedagang tutup dan kios kosong, retribusi mau diambil dari mana? Akhirnya PAD juga yang tersendat,” tegasnya. (yna)

















