Kelaparan Bengal 1943, Tragedi di Masa Perang yang Tak Disebabkan Perang

BENGAL | Priangan.com – Dalam setiap perang besar, kelaparan hampir selalu datang sebagai bayang-bayang. Kita sering melihat gambar-gambar yang menyayat hati dari anak-anak kurus kering di masa Perang Dunia, barisan pengungsi yang kelaparan, atau warga sipil yang berebut jatah makanan. Dari Eropa hingga Asia, kelaparan bukan sekadar dampak sampingan, tapi sering menjadi senjata tak terlihat yang mematikan pelan-pelan.

Namun, dari sekian banyak kisah kelaparan di masa perang, ada satu tragedi yang membekas karena penyebabnya bukan hanya akibat konflik bersenjata atau kerusakan infrastruktur. Kelaparan besar yang melanda Bengal, India, pada tahun 1943, menewaskan sekitar 2 hingga 3 juta orang, meski wilayah itu bahkan tidak menjadi medan perang utama. Tragisnya, kelaparan ini justru diperparah oleh keputusan politik kolonial dari London.

Dalam bayang-bayang Perang Dunia Kedua, ketika dunia fokus pada front Eropa dan Pasifik, jutaan rakyat India meregang nyawa karena kelaparan yang seharusnya bisa dicegah.

Semuanya bermula ketika badai siklon menghantam pesisir Bengal pada Januari 1943, menewaskan lebih dari 14 ribu orang dan merendam sawah-sawah dengan air asin. Tidak lama kemudian, tanaman padi yang tersisa diserang jamur Helminthosporium oryzae. Dalam keadaan normal, Bengal mungkin masih bisa mengandalkan impor beras dari Burma, tetangga sekaligus sesama koloni Inggris. Namun, Burma telah jatuh ke tangan Jepang dan jalur suplai pun tertutup rapat.

Sayangnya, kehancuran alam itu bukan puncak dari bencana. Pemerintah kolonial Inggris menerapkan kebijakan kejam yang disebut Kebijakan Penolakan, mereka menghancurkan perahu-perahu nelayan dan stok beras di wilayah pesisir, dengan alasan mencegah penggunaannya oleh Jepang jika terjadi invasi.

Akibatnya, masyarakat setempat kehilangan alat transportasi dan akses terhadap sumber pangan. Mereka dibiarkan kelaparan di tanah sendiri.

Lihat Juga :  Bataviase Nouvelles: Lembar Pertama Pers yang Mengguncang VOC

Hal yang membuat tragedi ini semakin memilukan adalah kenyataan bahwa India saat itu sebenarnya tidak mengalami kekurangan pangan secara menyeluruh. Dalam tujuh bulan pertama tahun 1943, lebih dari 70 ribu ton beras justru diekspor ke Inggris untuk kebutuhan pasukan dan warga sipilnya.

Kapal-kapal dari Australia yang membawa gandum juga tetap melewati India tanpa berhenti untuk memberi bantuan. Bahkan ketika Amerika Serikat dan Kanada menawarkan bantuan makanan khusus untuk Bengal, pemerintah Inggris di London menolak tawaran itu.

Di balik keputusan-keputusan tersebut berdirilah sosok yang hingga kini masih dipuja sebagai pahlawan perang, yaitu Winston Churchill. Bagi banyak orang di Eropa, ia adalah simbol perlawanan terhadap Nazi. Namun bagi rakyat India, terutama Bengal, ia adalah figur yang dingin dan penuh kebencian.

Lihat Juga :  Galen dari Pergamon: Sang Bapak Farmakologi yang Mengubah Wajah Kedokteran Kuno

Ketika beberapa pejabat seperti Leopold Amery dan Archibald Wavell mencoba mengusulkan bantuan pangan, Churchill menolak mentah-mentah. Ia bahkan menyalahkan rakyat India dengan berkata bahwa mereka “berkembang biak seperti kelinci”.

Lebih jauh lagi, ia menyatakan bahwa ia membenci orang India dan menyebut agama mereka sebagai sesuatu yang kejam. Ketika jumlah korban terus bertambah, satu-satunya komentar sarkastisnya adalah bahwa ia hanya menyesal Mahatma Gandhi tidak termasuk di antara yang tewas.

Kondisi di Bengal pun memburuk dengan cepat. Para orang tua yang putus asa membuang anak-anak mereka ke sungai atau sumur karena tak sanggup lagi menyaksikan penderitaan mereka. Banyak yang memilih bunuh diri dengan melompat ke rel kereta. Tubuh-tubuh tak dikremasi karena keluarga terlalu lemah. Anjing dan serigala berkeliaran memakan mayat di desa-desa.

Pria-pria pergi merantau ke Kalkuta demi mencari pekerjaan dan perempuan terpaksa menjual diri demi memberi makan anak-anak mereka. Dalam catatan jurnalis Madhusree Mukherjee, kelaparan ini mengubah ibu menjadi pembunuh, gadis desa menjadi pelacur, dan ayah menjadi pedagang anak perempuan.

Lihat Juga :  Ketika Dunia Terbelah, Dasasila Bandung Hadir Sebagai Jalan Tengah

Dilansir dari Thoughtco, bencana ini baru mereda pada akhir tahun 1944, ketika panen padi melimpah akhirnya datang. Sayangnya, bantuan makanan dari luar negeri baru tiba ketika sebagian besar korban telah tiada. Ironisnya, di saat yang sama, cadangan makanan Inggris justru melonjak hingga lebih dari 18 juta ton untuk 47 juta penduduknya, jumlah yang bahkan lebih kecil dari populasi Bengal.

Dalam bukunya Churchill’s Secret War, Mukherjee menyimpulkan bahwa tragedi ini bukan hanya soal rasisme, tapi tentang ketimpangan kekuasaan yang melekat dalam sistem kolonial. Penjatahan roti di Inggris dianggap sebagai krisis nasional, tapi kelaparan jutaan orang di koloni hanya dipandang sebagai risiko yang bisa diterima.

Hingga kini, pemerintah Inggris belum pernah mengeluarkan permintaan maaf resmi atas perannya dalam bencana kelaparan Bengal, sebuah lembar sejarah kelam yang terus bergema, sebagai pengingat bahwa kekuasaan tanpa empati bisa lebih mematikan daripada perang itu sendiri. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos