TAIPEI | Priangan.com – Presiden Taiwan, Lai Ching-te, dengan tegas mengatakan, demokrasi bukanlah sebuah kejahatan dan menyebut otokrasi sebagai “kejahatan” yang sesungguhnya.
Pernyataan yang disampaikannya pada Senin (24/6) itu merupakan respons terhadap ancaman baru-baru ini dari Tiongkok terhadap aktivis kemerdekaan Taiwan. Tiongkok, yang menganggap Taiwan sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya, telah meningkatkan tekanan politik dan militer terhadap pulau yang berdaulat secara demokratis ini.
Pada Jumat (21/6) kemarin, Beijing mengeluarkan pedoman hukum baru yang mengancam hukuman mati bagi para separatis yang dianggap “keras kepala”.
Presiden Lai, yang baru menjabat bulan lalu, menegaskan posisinya dalam konferensi pers di Taipei. Lai menegaskan, Tiongkok tidak memiliki hak untuk menghukum warga Taiwan hanya karena pendapat politik mereka.
Di lain sisi, Tiongkok telah menuduh Lai sebagai seorang separatis dan telah meningkatkan aktivitas militer di sekitar Taiwan sebagai bagian dari kampanye “zona abu-abu” mereka. Pada bulan depan, Taiwan juga berencana untuk menggelar latihan perang tahunan Han Kuang yang diarahkan untuk menghadapi ancaman musuh yang meningkat dari Tiongkok.
Di tengah tegangan ini, Lai menegaskan, hanya rakyat Taiwan yang berhak menentukan masa depan pulau tersebut. Meskipun Taiwan secara de facto berdaulat, Tiongkok tetap menganggapnya sebagai bagian dari wilayahnya yang harus direunifikasi.
Sementara itu, Presiden Lai juga menghadapi tantangan dalam negeri dengan partainya, Partai Progresif Demokratik, baru-baru ini kehilangan mayoritasnya di parlemen. Meskipun demikian, ia tetap mempertahankan posisi kuat dalam menentang klaim kedaulatan Tiongkok dan menawarkan dialog kepada Beijing.
Taiwan, yang dikenal sebagai Republik Tiongkok, menjadi tempat persembunyian pemerintahan nasionalis setelah mereka kalah dalam perang saudara dengan pihak komunis di daratan Tiongkok pada tahun 1949.
Meskipun tegangannya meningkat, baik Taiwan maupun Tiongkok telah menegaskan keinginan mereka untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dalam konflik ini, sambil tetap mempertahankan klaim dan posisi masing-masing. (mth)