CIAMIS | Priangan.com — Kasus pelecehan seksual terhadap belasan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Ciamis menjadi pengingat serius bahwa perlindungan anak tidak hanya menjadi tugas keluarga, tapi juga sekolah dan masyarakat secara luas.
Seorang pria berinisial F, yang diketahui merupakan mahasiswa fakultas hukum di salah satu universitas swasta di Ciamis, ditangkap polisi atas dugaan sebagai pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak usia sekolah. Hingga pertengahan Mei 2025, sebanyak 13 korban telah teridentifikasi.
Ironisnya, pelaku dikenal sebagai pembicara motivasi yang sering hadir di sekolah-sekolah untuk menyampaikan materi tentang kenakalan remaja dan bahaya narkoba. Alih-alih memberikan teladan, ia justru diduga memanfaatkan kedekatannya dengan siswa untuk melakukan tindakan menyimpang.
Kapolres Ciamis, AKBP Akmal, mengungkapkan bahwa tersangka menggunakan kekerasan fisik sebelum melakukan pelecehan seksual. Beberapa korban mengaku dipukul dan ditendang terlebih dahulu, lalu dipaksa melakukan tindakan yang melanggar norma dan hukum.
“Kami menemukan indikasi bahwa sebagian besar korban merasa takut untuk melapor karena tekanan dan ancaman dari pelaku,” jelas Akmal dalam konferensi pers.
Kondisi ini menunjukkan pentingnya pendidikan seksual dan hukum dasar kepada anak, agar mereka tahu kapan suatu tindakan sudah melewati batas, serta memiliki keberanian untuk berbicara.
Kasus ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan pendidikan seksual yang ramah anak di sekolah dan rumah. Bukan sekadar bicara soal anatomi tubuh, tetapi tentang bagaimana anak-anak memahami hak atas tubuhnya, mengenali batasan privasi, serta bagaimana meminta pertolongan ketika merasa tidak aman.
Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Jawa Barat, Ato Rinanto, seluruh korban kini sudah berada dalam penanganan khusus. Mereka menerima pendampingan dari psikolog profesional untuk memulihkan kondisi mental dan emosional.
“Kami tidak ingin luka batin ini menetap seumur hidup. Oleh karena itu, proses pendampingan dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya satu-dua kali pertemuan,” ujar Ato.
Ia menekankan pentingnya membangun sistem pendampingan jangka panjang agar korban tidak mengalami trauma berulang yang bisa berujung pada gangguan perilaku di kemudian hari.
Penting bagi orang tua dan guru untuk memperkuat komunikasi dengan anak dan murid, membangun kepercayaan sehingga anak merasa nyaman berbicara jika mengalami kejadian yang membuat mereka tidak nyaman. Banyak anak yang menjadi korban pelecehan seksual karena merasa tidak memiliki tempat aman untuk bercerita.
Sekolah juga diharapkan tidak hanya memberikan ruang bagi edukator eksternal tanpa seleksi ketat. Dalam kasus di Ciamis, pelaku menggunakan statusnya sebagai “motivator” untuk mendekati para siswa. Ini menegaskan pentingnya pengawasan terhadap siapa pun yang berinteraksi dengan anak-anak, bahkan dalam konteks edukatif sekalipun.
KPAID dan kepolisian membuka posko pengaduan bagi siapa pun yang merasa menjadi korban atau memiliki informasi tambahan. Masyarakat diminta tidak diam ketika mengetahui adanya perilaku menyimpang terhadap anak.
“Anak-anak tidak bisa memilih di lingkungan seperti apa mereka tumbuh, tapi kita sebagai orang dewasa bisa memastikan lingkungan itu aman bagi mereka,” tutup Ato Rinanto. (yna)