GARUT | Priangan.com – Penyakit Tuberkulosis (TB) paru masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Berdasarkan data WHO, TB paru menempati posisi kedua sebagai penyakit menular penyebab kematian tertinggi di dunia setelah COVID-19.
Tingginya angka kematian disebabkan oleh berbagai faktor, seperti lemahnya sistem kekebalan tubuh (terutama pada penderita HIV/AIDS), kekurangan gizi, hingga komplikasi berat seperti gagal napas atau syok septik.
Wakil Bupati Garut, Putri Karlina, bersama Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, dr. Leli Yuliani, mengungkapkan bahwa selama ini setiap tahunnya ditemukan sekitar 8 ribu kasus baru TB paru. Namun, tahun ini angka tersebut diperkirakan melonjak signifikan.
“Tahun ini target penemuan kasus baru TB paru mencapai 12 ribu, sesuai perkiraan Kementerian Kesehatan. Artinya, kita harus lebih aktif melakukan skrining agar penanganannya tidak terlambat,” ujar dr. Leli saat menghadiri Seminar Perawatan dan Inhalasi pada Pasien Paru di Klinik Utama DR. H. A. Rotinsulu, Jalan Pembangunan, Kecamatan Tarogong Kidul, Garut, Kamis (29/8/2025).
Klinik Utama Rotinsulu merupakan satu-satunya klinik paru di Kabupaten Garut. Wabup Putri Karlina berharap, keberadaan klinik ini bisa memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, mengingat tingginya kasus TB paru di wilayahnya.
“Pelayanannya sudah bagus, hanya perlu dimaksimalkan lagi. Fasilitas harus dilengkapi agar semua pasien, baik umum maupun BPJS, bisa tertangani dengan baik. Harapannya, klinik ini juga bisa berperan aktif dalam upaya pencegahan penyakit paru menular, termasuk TB,” ucap Putri.
Hal senada disampaikan Kepala Klinik Utama DR. Rotinsulu, Sartika Nurwenda. Menurutnya, klinik saat ini menerima rata-rata 40 hingga 50 pasien paru setiap hari, dengan sekitar 30 persen di antaranya terdiagnosis TB paru.
Namun ia mengakui, layanan di klinik tersebut masih terbatas. Saat ini, yang baru berjalan adalah layanan spesialis paru.
“Ke depan kami akan menghadirkan spesialis penyakit dalam dan anak. Semoga semakin lengkap sehingga pelayanan kepada masyarakat Garut bisa lebih optimal,” jelas Sartika.
Ia menambahkan, di klinik tersebut pasien lebih banyak mendapatkan pemeriksaan dan penegakan diagnosis awal. Sementara untuk pengobatan TB, tetap diprioritaskan di puskesmas.
“Biasanya puskesmas merujuk pasien ke kami untuk memastikan diagnosis. Setelah diagnosa ditegakkan, pasien kami kembalikan lagi ke puskesmas untuk program pengobatan,” katanya.
Sartika menjelaskan, pengobatan TB paru memerlukan waktu minimal enam bulan dan tidak boleh terputus. Jika pasien menghentikan pengobatan di tengah jalan, risiko TB resisten obat atau MDR (Multi Drug Resistant) meningkat.
“Baik TB biasa maupun yang resisten, keduanya sama-sama menular. Karena itu penting sekali pengobatan dijalankan hingga tuntas,” tegasnya.
Meski demikian, ia memastikan biaya pengobatan TB paru sepenuhnya ditanggung pemerintah sehingga pasien tidak perlu khawatir soal biaya. (Az)

















