Kanibalisme Medis: Sejarah Kelam Pengobatan dari Tengkorak Manusia

JAKARTA | Priangan.com – Pada tahun 1685, Raja Charles II dari Inggris terbaring lemah karena stroke. Para tabib istana sudah mencoba berbagai cara untuk menyelamatkan nyawanya, tetapi tak ada satu pun yang berhasil. Di tengah kondisi kritis itu, sang raja memaksa agar sebuah ramuan yang ia yakini ampuh segera diberikan kepadanya. Ramuan itu dikenal sebagai King’s Drops. Sebagaimana dilansir dari Atlas Obscura, ramuan ini mengandung bahan utama yang tidak biasa, yaitu bubuk dari tengkorak manusia.

Bertahun-tahun sebelumnya, Charles II telah membayar mahal seorang ahli kimia bernama Jonathan Goddard untuk meracik formula rahasia tersebut. Ramuan ini diklaim dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan dipercaya sangat manjur asalkan menggunakan bahan dari tengkorak orang yang tepat.

Menurut pemahaman medis pada masa itu, tulang orang tua dianggap mengandung penyakit yang ingin disembuhkan, sehingga hanya tengkorak dari orang muda yang mati secara mendadak, terutama akibat kekerasan yang dianggap paling “murni”. Orang yang dieksekusi atau gugur di medan perang sering kali menjadi “sumber ideal”.

Menjelang kematiannya, para tabib menuangkan hingga 40 tetes King’s Drops ke tenggorokan raja setiap hari. Namun harapan itu sia-sia. Charles II wafat pada tanggal 6 Februari 1685, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa ramuan itu justru memperburuk kondisinya.

Meski begitu, sebagaimana dicatat dalam korespondensi seorang wanita Inggris bernama Anne Dormer setahun setelah kematian sang raja, ramuan tengkorak tetap digemari masyarakat. Dalam surat kepada saudarinya, Dormer menyebut bahwa ia merasa lebih tenang secara emosional setelah meminum King’s Drops, bahkan cukup bersemangat untuk bermain bersama anak-anaknya.

Kepercayaan terhadap pengobatan yang menggunakan bagian tubuh manusia bukanlah hal aneh di masa itu. Sejak abad ke-16 hingga akhir abad ke-18, praktik semacam ini sangat umum, bahkan di kalangan bangsawan dan orang terpelajar Eropa.

Lihat Juga :  Rahasia di Orbit: Proyek Satelit Pengintai Pertama Amerika

Seorang alkemis Jerman bernama Oswald Croll pernah menyarankan penggunaan tiga tengkorak dari orang yang mati karena kekerasan untuk mengobati epilepsi. Seorang dokter Inggris bernama John French bahkan menuliskan resep yang lebih ekstrem pada tahun 1651, berupa ramuan dari otak manusia yang direndam dalam alkohol dan difermentasi selama enam bulan di dalam kotoran kuda.

Asal-usul semua praktik mengerikan ini banyak dipengaruhi oleh seorang tokoh bernama Paracelsus, seorang filsuf, dokter, dan alkemis dari Swiss pada abad ke-16. Ia percaya bahwa “sesuatu yang serupa bisa menyembuhkan sesuatu yang serupa”, sehingga jika seseorang menderita sakit kepala, maka pengobatannya adalah mengonsumsi bagian kepala dari orang lain yang sehat. Paracelsus sangat menekankan bahwa orang tersebut harus mati secara mendadak dan brutal agar “semangat hidupnya” masih utuh dan bisa ditransfer melalui tubuhnya.

Lihat Juga :  Perjalanan Panjang Presidential Threshold, Syarat Ambang Batas yang Baru Saja Dihapus MK

Pemikiran Paracelsus menyebar luas, bahkan hingga ke Amerika. Di New England, seorang dokter Puritan bernama Edward Taylor menulis secara antusias tentang pengobatan dengan bagian tubuh manusia. Ia percaya bahwa bubuk tengkorak bisa menyembuhkan penyakit epilepsi, dan lumut yang tumbuh di tengkorak jenazah terbuka di udara bisa digunakan untuk menghentikan pendarahan.

Tentu saja, efektivitas pengobatan ini sangat diragukan. Sebagian besar hanya menghasilkan efek plasebo atau rasa sembuh yang muncul karena sugesti, bukan karena khasiat nyata. Namun banyak ramuan dicampur dengan alkohol atau opium, sehingga memberikan rasa nyaman sesaat yang kemudian memperkuat keyakinan bahwa pengobatan itu benar-benar bekerja.

Yang mengerikan, kepercayaan terhadap khasiat tubuh manusia ini menciptakan permintaan tinggi terhadap tengkorak dan bagian tubuh lainnya. Akibatnya, muncul praktik-praktik tak manusiawi demi memenuhi kebutuhan pasar. Tempat eksekusi menjadi lokasi strategis untuk mengambil tengkorak segar, dan medan perang menjadi ladang “panen” yang tak kalah sibuk.

Lihat Juga :  Kegigihan di Tengah Kemiringan Menara Pisa, Dari Ambisi Abad ke-12 hingga Keajaiban yang Selamat dari Keterpurukan

Irlandia, yang saat itu sering dilanda konflik, menjadi sasaran empuk. Banyak jasad korban pertempuran dibiarkan terbengkalai, dan tengkoraknya diambil untuk dijual ke apotek-apotek di London bahkan diekspor ke negara-negara Eropa seperti Jerman.

Filsuf Inggris Francis Bacon pernah menyebut bahwa lumut tengkorak terbaik untuk menghentikan mimisan bisa ditemukan di “tumpukan mayat yang tidak dikubur di Irlandia.” Pada saat yang sama, Inggris memasarkan tengkorak dari wilayah jajahannya seperti komoditas biasa, tanpa mempertimbangkan martabat manusia di baliknya. Perdagangan ini bahkan tercatat masih berlangsung hingga akhir abad ke-18.

Baru pada abad ke-19, ketika ilmu anatomi dan fisiologi mulai berkembang pesat, praktik ini perlahan ditinggalkan. Dunia kedokteran mulai memahami bahwa penyakit tidak bisa disembuhkan dengan bagian tubuh orang lain. Kepercayaan magis seperti milik Paracelsus mulai dianggap usang dan tidak sesuai dengan prinsip ilmiah.

Namun sejarah King’s Drops dan pengobatan serupa menyimpan pelajaran penting tentang betapa mudahnya keputusasaan dan ketidaktahuan bisa membuka jalan bagi praktik-praktik yang mengerikan. Ia juga menunjukkan sisi gelap dari sejarah medis Eropa, di mana jenazah manusia, khususnya dari kelompok rentan bisa dijadikan barang dagangan atas nama kesembuhan. Apa yang dulu dianggap “ramuan kehidupan”, kini hanya tinggal kenangan pahit dari masa ketika sains masih dibalut takhayul, dan tubuh manusia belum sepenuhnya dihargai sebagai sesuatu yang tak ternilai. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos