SOMME | Priangan.com – Profesi jurnalis sering kali menuntut keberanian untuk mencari kebenaran di tempat-tempat yang paling berbahaya. Namun, pada masa Perang Dunia Pertama, peran ini hampir sepenuhnya dikuasai oleh laki-laki, terutama ketika melaporkan langsung dari garis depan.
Di tengah keterbatasan ini, seorang wanita muda memutuskan untuk mengambil risiko yang tidak terbayangkan. Ia menyamar sebagai prajurit demi membawa kisah dari medan tempur yang penuh bahaya. Selama lebih dari 80 tahun, kisah luar biasa ini terkubur di balik kerahasiaan militer dan dianggap sebagai fiktif belaka.
Dorothy Lawrence adalah wanita di balik kisah tersebut. Lahir pada tahun 1896, Dorothy tumbuh dengan tekad kuat untuk menjadi seorang jurnalis, meskipun harus menembus industri yang saat itu didominasi oleh laki-laki.
Pada usia sembilan belas tahun, Dorothy nekat pergi ke Prancis dengan harapan bisa melaporkan langsung dari medan pertempuran. Usahanya pertama kali gagal, ia tertangkap dan diperintahkan untuk kembali.
Namun, tekadnya yang bulat membuatnya memutuskan untuk mencoba lagi, kali ini dengan menyamar sebagai seorang prajurit laki-laki pada tahun 1915. Dengan bantuan dua tentara Inggris yang bersimpati padanya, Dorothy mendapatkan seragam khaki dan dokumen palsu yang mengidentifikasinya sebagai Prajurit Denis Smith dari Batalyon 1, Resimen Leicestershire.
Ia meratakan dadanya dengan perban, memotong pendek rambutnya, dan menggunakan disinfektan serta semir sepatu untuk menggelapkan kulit dan memberi efek kasar pada wajahnya.
Penyamaran Dorothy berhasil. Ia berhasil mencapai wilayah Inggris di Somme dengan mengayuh sepeda. Selama sepuluh hari, ia hidup seperti tentara lainnya. Ia tidur di kasur basah di pondok kosong di hutan dan memakan ransum seadanya yang diberikan oleh seorang tentara yang bretugas menangani ranjau bernama Tom Dunn.
Namun, kondisi medan perang yang mengerikan akhirnya membuat Dorothy menyerah. Ia ditangkap karena dicurigai sebagai mata-mata dan diinterogasi secara intensif. Ketidaktahuannya tentang aturan militer membuat para interogatornya semakin curiga.
Angkatan Darat sangat malu karena seorang wanita telah melanggar keamanan dan takut akan lebih banyak wanita yang mengambil peran laki-laki selama perang jika ceritanya terbongkar. Namun, Dorothy tahu bahwa ia memiliki berita besar dalam hidupnya, sebuah cerita yang akan menggemparkan jika ia dapat menerbitkannya.
Atas perintah hakim yang khawatir ia akan membocorkan informasi intelijen yang sensitif ke ranah publik, ia diperintahkan untuk tetap tinggal di Prancis hingga setelah Pertempuran Loos.
Ditahan di Convent de Bon Pasteur selama 2 minggu, ia dipaksa bersumpah untuk tidak menulis tentang pengalamannya, dan harus menandatangani surat pernyataan yang menyatakan hal itu, atau ia akan dijebloskan ke penjara.
Ia dikirim kembali ke London dan melakukan perjalanan menyeberangi Selat Inggris dengan feri yang sama dengan Emmeline Pankhurst, yang memintanya untuk berbicara di pertemuan gerakan hak pilih perempuan dan menyampaikan pidato di hadapan semakin banyaknya perempuan yang putus asa untuk berkontribusi pada upaya perang Inggris.
Setelah perang berakhir, pada tahun 1919 Dorothy mencoba menulis kisahnya dalam sebuah buku berjudul ‘Sapper Dorothy Lawrence: The Only English Woman Soldier’. Namun, Kantor Perang menyensor buku tersebut sehingga penjualannya tidak sukses.
Tanpa sumber penghidupan yang jelas, kesehatan fisik dan mental Dorothy menurun drastis. Tanpa rumah dan tanpa harapan, Dorothy akhirnya dirawat di rumah sakit jiwa di London utara, tempat ia menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal dengan tragis empat puluh tahun kemudian.
Kisah Dorothy Lawrence hampir terlupakan, hingga pada awal tahun 2000-an, Richard Bennett, cucu dari salah satu tentara yang pernah membantunya, menemukan otobiografinya saat meneliti sejarah keluarganya di Royal Engineers Museum.
Temuan ini mendorong sejarawan Raphael Stipic untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Berkat temuan-temuan ini, cerita Dorothy akhirnya terungkap dan kini menjadi bagian dari pameran di Imperial War Museum tentang peran perempuan dalam masa perang.
Dorothy Lawrence adalah sosok yang menantang norma-norma zamannya dengan keberanian yang luar biasa. Meskipun dunia saat itu tidak siap menerima kisahnya, keberaniannya tetap menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk terus memperjuangkan kesetaraan dan keadilan dalam berbagai bidang kehidupan. (LSA)