Jejak Panjang Jenderal Benny Moerdani, Tokoh Militer Paling Berpengaruh di Era Orde Baru

JAKARTA | Priangan.com – Nama Benny Moerdani tercatat sebagai salah satu tokoh militer paling berpengaruh di Indonesia. Lahir di Cepu, Jawa Tengah, pada 2 Oktober 1932, Benny sudah mengenal kerasnya perjuangan sejak muda. Di usia belasan tahun, ia bergabung dengan Tentara Pelajar dan ikut serta dalam berbagai pertempuran mempertahankan kemerdekaan, termasuk dalam Serangan Umum 1 Maret di Solo.

Selepas perang, ia melanjutkan sekolah hingga jenjang menengah atas sebelum akhirnya masuk pendidikan perwira Angkatan Darat. Tahun 1952 ia lulus pendidikan militer, dan dua tahun kemudian ditempatkan di Kodam Siliwangi dengan pangkat letnan dua. Sejak saat itu kariernya terus teruji di berbagai palagan. Benny terjun dalam operasi penumpasan PRRI/Permesta, hingga dipercaya memimpin operasi penting di Merauke dalam rangka perebutan Irian Barat pada 1962. Keberanian yang ditunjukkannya membuat Presiden Soekarno menganugerahkan Bintang Sakti.

Meski dikenal sebagai prajurit cerdas dan berani, perjalanan karier Benny tidak selalu mulus. Kritik kerasnya pada 1964 terkait kebijakan RPKAD yang mengangkat Letkol Sarwo Edhie Wibowo sebagai komandan dan kebijakan terkait mutasi para prajurit yang cacat membuatnya dipindahkan dari kesatuan itu ke Kostrad. Dari situ ia justru masuk ke lingkaran intelijen lewat Ali Moertopo, lalu kemudian terlibat dalam operasi konfrontasi dengan Malaysia. Benny juga menjalani karier diplomatik di Malaysia dan Korea Selatan, sebelum kembali aktif di bidang intelijen pertahanan.

Namanya semakin menonjol setelah menjadi salah satu perancang operasi militer di Timor Timur pada 1975. Namun puncak keberhasilan Benny dalam dunia intelijen datang pada 1981 ketika memimpin operasi pembebasan sandera pesawat Garuda Woyla di Bangkok. Operasi tersebut berhasil tanpa menimbulkan korban dari pihak sandera dan mengukuhkan reputasinya sebagai perwira lapangan sekaligus perencana yang piawai.

Lihat Juga :  Misteri Agen 355, Perjuangan Mata-Mata Wanita Tersembunyi di Balik Revolusi

Kedekatannya dengan Presiden Soeharto membuat Benny mendapat kepercayaan besar. Tahun 1983, ia diangkat menjadi Panglima ABRI meski belum pernah memimpin unit setingkat divisi. Jabatan itu menjadikannya salah satu tokoh paling berkuasa di militer pada masa Orde Baru. Namun di balik posisi itu, muncul kontroversi besar. Peristiwa Tanjung Priok 1984 menimbulkan tudingan bahwa Benny bersikap anti-Islam. Ia juga dikaitkan dengan operasi penembakan misterius atau Petrus yang banyak memakan korban jiwa.

Lihat Juga :  32 Tahun Kasus Marsinah: Ketika Suara Kaum Buruh Dibungkam Penguasa

Di sisi lain, Benny berupaya melakukan pembenahan internal ABRI. Ia mengurangi jumlah Kodam untuk meningkatkan efisiensi dan menekankan pengabdian prajurit kepada negara, bukan individu. Namun sikap kritisnya terhadap bisnis keluarga Soeharto membuat hubungannya dengan sang presiden retak. Pada 1988, menjelang Sidang Umum MPR, ia dicopot dari jabatan Panglima ABRI dan digantikan oleh Tri Sutrisno.

Meski kemudian ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan, pengaruh Benny terus menyusut. Soeharto melakukan langkah yang disebut sebagai de-Benny-sasi dengan menyingkirkan orang-orang dekatnya dari posisi strategis. Hubungan keduanya pun kian renggang, meski kembali mencair setelah Soeharto lengser pada 1998.

Benny Moerdani wafat pada 29 Agustus 2004 di usianya yang ke-71 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sejak remaja hingga akhir hayatnya, ia hadir dalam banyak peristiwa penting sejarah Indonesia, meninggalkan jejak sebagai prajurit yang teguh pada prinsip pengabdian kepada negara, meski langkahnya tak lepas dari beragam kontroversi. (wrd)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos