JAKARTA | Priangan.com – Bayangkan Jakarta di tahun 1950-an, ketika ibu kota Indonesia baru saja bebas dari belenggu kolonialisme. Di antara teriknya matahari tropis dan hiruk-pikuk kota yang mulai menata diri, seorang lelaki dengan topi lebar, berkacamata, dan ransel penuh buku tiba di pelabuhan. Dia bukan seorang politisi biasa, dia adalah Pablo Neruda, penyair besar dari Chile yang suaranya menggema dari benua ke benua. Dan hari itu, jejak langkahnya terpatri di tanah Jakarta.
Pablo Neruda mungkin lebih dikenal karena puisi-puisinya yang menggambarkan cinta, alam, dan keadilan sosial. Tapi siapa sangka, penyair yang bisa menggetarkan hati lewat kata-kata juga seorang diplomat ulung. Ketika ia melangkahkan kaki di Jakarta, itu bukan hanya sebagai seorang penyair yang mencari inspirasi. Neruda datang sebagai wakil negaranya, membawa misi diplomasi yang membalut puisi dalam lirik-lirik politik global.
Neruda mengunjungi Jakarta dalam masa di mana Indonesia sedang mencari tempatnya di panggung internasional. Ia datang dengan semangat solidaritas antarbangsa, menjalin hubungan antara Chile dan Indonesia yang baru lahir. Di ruang-ruang diplomasi yang biasanya kaku dan formal, Neruda menyelipkan sentuhan seni yang menyihir. Mungkin saja, di balik meja-meja perundingan itu, ia menuliskan bait-bait spontan tentang kota yang mulai beranjak dari luka masa lalu.
Ada kisah yang jarang diketahui banyak orang, bahwa di sela-sela kunjungan diplomatiknya, Neruda sempat menjelajahi sudut-sudut Jakarta. Ia berdiri di tepi pelabuhan Sunda Kelapa, memandang perahu-perahu nelayan yang mengayun di lautan biru, sama birunya seperti laut di Valparaíso, kota pelabuhan di Chile. Apakah di sana Neruda mengingat kampung halamannya? Atau mungkin, dari tempat itu, ia melihat keindahan yang sama—keindahan dari bangsa yang berjuang membangun masa depan dari reruntuhan penjajahan.
Jakarta bagi Neruda adalah kota yang sedang berkembang, seperti bunga yang perlahan-lahan mekar setelah hujan. Dalam kunjungan singkatnya, ia menyaksikan optimisme yang merayap di setiap sudut kota. Di pasar-pasar, di kampung-kampung, di wajah-wajah orang-orang yang tersenyum meskipun baru melewati masa sulit. Neruda, yang selalu tertarik pada kehidupan rakyat kecil, mungkin mendapati dirinya terinspirasi oleh keberanian dan semangat rakyat Indonesia.
Pablo Neruda bukan diplomat biasa. Ia tidak hanya membawa pesan-pesan politik atau ekonomi. Setiap pertemuan, setiap pidato yang ia sampaikan, adalah perpaduan antara diplomasi dan puisi. Ia melihat diplomasi sebagai bentuk lain dari seni—seni untuk menyatukan perbedaan, menjembatani jarak, dan merayakan kemanusiaan.
Saat bertemu dengan para sastrawan Indonesia, Neruda menemukan jiwa yang sama—jiwa yang haus akan kebebasan dan keadilan. Ia mungkin berbincang dengan para tokoh intelektual Indonesia tentang pentingnya seni dalam revolusi. Neruda, yang begitu piawai dalam menjahit kata menjadi jembatan antara hati dan bangsa, menemukan kecocokan di Jakarta yang sedang membangun jati diri nasionalnya.
Bayangkan percakapan antara Neruda dan penulis-penulis Indonesia kala itu. Seperti Chairil Anwar, mungkin, jika mereka sempat bertemu. Dua raksasa puisi dari dua benua, bertukar pandangan tentang kemerdekaan, cinta, dan perjuangan. Meski tak ada bukti pertemuan langsung, kita bisa membayangkan, di antara asap kopi yang mengepul, keduanya beradu pandang dengan bahasa yang hanya dipahami oleh mereka yang mampu melihat dunia dari kacamata seorang penyair.
Meski jejak fisik Pablo Neruda di Jakarta mungkin perlahan memudar dari ingatan sejarah, esensi dari kunjungannya masih terasa dalam hubungan kedua negara hingga kini. Lebih dari sekadar diplomat atau penyair, Neruda adalah jembatan antara dua dunia yang berbeda—Amerika Latin dan Asia Tenggara—yang disatukan oleh semangat kemanusiaan dan cinta akan keadilan.
Dan mungkin, meski tanpa disadari, pengaruh Neruda tetap hidup dalam karya-karya sastrawan Indonesia yang terinspirasi oleh semangat revolusi dan kebebasan. Kata-katanya, seperti angin yang berhembus dari Andes ke Samudra Pasifik, terus bergema di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia.
Jejak Pablo Neruda di Jakarta adalah sebuah pengingat bahwa seni dan diplomasi bisa berjalan seiringan. Dalam kunjungan singkatnya, ia membawa lebih dari sekadar kebijakan politik; ia membawa puisi sebagai senjata perlawanan dan cinta. Di jalan-jalan Jakarta, di bawah terik matahari tropis, mungkin kita masih bisa merasakan bisikan sajak-sajaknya yang tertinggal, menyatu dengan debu dan angin kota yang tak pernah tidur. (mth)