JAKARTA | Priangan.com – Pada awal dekade 1980-an, sejumlah kota di Indonesia diguncang oleh peristiwa yang hingga kini masih menyisakan tanda tanya. Ratusan orang kala itu ditemukan tewas dengan luka tembak di tempat umum. Peristiwa itu kemudian dikenal luas dengan sebutan penembakan misterius atau “Petrus”.
Penembakan misterius terjadi antara tahun 1982 hingga 1985, di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Operasi ini berlangsung di berbagai daerah, seperti Yogyakarta, Semarang, Solo, dan kota-kota besar lain di Pulau Jawa. Pemerintah saat itu berdalih tindakan tersebut bertujuan menekan angka kejahatan yang disebut meningkat tajam. Para korban kebanyakan adalah orang yang dianggap preman, residivis, atau pelaku kriminal yang telah lama menjadi perhatian aparat keamanan.
Pelaksanaan operasi dilakukan secara tertutup oleh unsur militer dan kepolisian. Banyak korban yang ditangkap tanpa proses hukum, kemudian ditemukan tewas beberapa hari kemudian. Jenazah mereka kerap ditinggalkan di pinggir jalan, bawah jembatan, sungai, atau tempat umum lainnya. Di beberapa kasus, tubuh korban ditemukan dengan tanda bekas tembakan di kepala atau dada. Keberadaan mayat-mayat itu menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat, seolah menjadi pesan agar tidak melawan negara atau terlibat kejahatan.
Beberapa laporan menyebut kalau aparat keamanan di bawah komando garnisun daerah memimpin operasi tersebut. Salah satu yang tercatat adalah Letnan Kolonel Hasbi di Yogyakarta. Operasi Petrus disebut sebagai bagian dari langkah pemberantasan kejahatan oleh pemerintah untuk menegakkan ketertiban. Namun, banyak pihak kemudian menilai cara yang ditempuh telah menyalahi prinsip hukum dan hak asasi manusia.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 2008 melakukan penyelidikan mendalam terhadap peristiwa ini. Dari hasil penyelidikan yang berlangsung hingga 2012, Komnas HAM menyimpulkan bahwa penembakan misterius merupakan pelanggaran HAM berat karena dilakukan secara sistematis dan terencana. Hingga kini, tidak ada satu pun pelaku yang secara resmi dinyatakan bertanggung jawab di pengadilan.
Pada Januari 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan penyesalan atas terjadinya peristiwa penembakan misterius dan menyebutnya sebagai salah satu dari 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pengakuan tersebut menjadi langkah simbolis untuk membuka kembali memori kolektif bangsa tentang masa-masa gelap dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. (wrd)

















