KARAWANG | Priangan.com – Ada banyak kisah kelam yang mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Satu dari sekian banyaknya kejadian yang meninggalkan luka mendalam itu adalah peristiwa pembantaian Rawagede oleh pasukan Belanda pada 9 Desember 1947. Peristiwa ini menjadi salah satu catatan paling gelap dalam masa perang mempertahankan kemerdekaan, ketika masyarakat sipil harus menghadapi kekerasan yang terjadi tanpa proses hukum.
Pembantaian berlangsung di Desa Rawagede, yang kini dikenal sebagai Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Karawang. Pada masa itu kawasan ini dianggap sebagai wilayah yang kuat mendukung Republik sehingga menjadi sasaran operasi militer Belanda. Sejumlah laporan sejarah menyebutkan pasukan Belanda memasuki desa sejak pagi hari, mengepung permukiman warga dan memaksa laki-laki dari setiap rumah keluar menuju lapangan. Mereka kemudian ditanyai mengenai keberadaan para pejuang Republik, termasuk seorang tokoh yang disebut Lukas Kustaryo yang saat itu menjadi buruan.
Setelah tidak memperoleh jawaban yang dianggap memuaskan, pasukan Belanda menggiring warga ke titik-titik tertentu di dalam desa dan mengeksekusi mereka secara massal. Angka korban bervariasi dalam berbagai sumber, namun penelitian dan kesaksian penduduk Rawagede kerap menyebutkan jumlah korban mencapai ratusan orang, mayoritas laki-laki dewasa dan remaja. Tindakan tersebut dilakukan tanpa proses peradilan dan tanpa pemisahan antara mereka yang terlibat perlawanan maupun warga sipil yang tidak terlibat konflik bersenjata.
Tragedi itu meninggalkan kepedihan yang panjang bagi keluarga korban. Desa Rawagede berubah menjadi wilayah sunyi yang kehilangan banyak kepala keluarga, sementara sebagian besar perempuan harus memulai hidup baru sebagai janda dengan beban ekonomi dan sosial yang berat. Dalam beberapa catatan badan internasional yang memantau situasi Indonesia kala itu, tindakan tersebut dikategorikan sebagai pembunuhan di luar proses hukum dan menjadi sorotan dalam laporan mengenai kekerasan kolonial.
Upaya mencari keadilan berlangsung sangat lama. Baru puluhan tahun setelah kejadian, para janda korban membawa kasus ini ke pengadilan Belanda. Pada 2011, pengadilan di Den Haag memutuskan pemerintah Belanda bertanggung jawab atas pembantaian Rawagede. Putusan tersebut membuka jalan bagi permintaan maaf resmi serta pemberian kompensasi kepada keluarga korban, meskipun perdebatan mengenai bentuk dan besaran kompensasi masih berlangsung.
Lokasi pembantaian kini menjadi tempat peringatan yang setiap tahun diziarahi warga dan keluarga korban. Monumen Rawagede dan Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga dibangun untuk menjaga ingatan masyarakat tentang tragedi ini. (wrd)

















