JAKARTA | Priangan.com – Nama Tjitjalengka pernah tercatat dalam deretan kapal besar yang berhasil mengarungi wilayah Asia dan Eropa pada paruh pertama abad ke-20. Selain menjadi moda transportasi laut, kapal ini juga menjadi saksi dari perjalanan panjang perdagangan, perpindahan orang-orang, serta dinamika poliitik yang mewarnai masa kolonial hingga era pasca Perang Dunia II.
Dulu, tradisi penamaan kapal dengan istilah wilayah menjadi ciri khas perusahaan pelayaran N.V. Jaba-China-Japan Lijn (LCJL). Perusahaan asal negeri kincir angin yang berdiri sejak 1902 itu kerap menggunakan kata “Ci” untuk armadanya. Dari situlah kapal-kapal seperti Tjimahi, Tjisadane, dan Tjitjalengka hadir mewarnai deretan kapal besar di Indonesia.
Tjitjalengka mulai diperkenalkan kepada publik mulai 16 Agustus 1938. Kapal ini dulu dibuat di galangan Nederlandsche Scheepsbouw-maatschappij di Amsterdam, Belanda. Setahun kemudian, tepatnya pada 29 April 1939, kapal diserahkan secara resmi kepada JCJL. Dengan bobot kotor seberat 10.945 ton dan panjang 457 kaki, Tjitjalengka mampu mengangkut ratusan penumpang, baik kelas satu maupun ekonomi, serta kargo dalam jumlah besar.
Pelayaran perdananya dimulai pada 6 Mei 1938. Pada saat itu, Tjitjalengka berlayar dari Amsterdam menuju Hindia Belanda di bawah komando Kapten de Jonge. Rute yang ditempuh pun cukup panjang, mencakup Batavia, Surabaya, Semarang, hingga kota-kota besar di Asia Timur, seperti Manila, Hongkong, Amoy, dan Shanghai. Kehadiran kapal ini tentu membawa warna baru dalam jaringan transportasi di kawasan Asia Pasifik.
Ketika Perang Dunia II pecah, peran Tjitjalengka berubah drastis. Pada Oktober 1942, kapal ini dialihfungsikan menjadi rumah sakit terapung di Liverpool dengan kapasitas hingga seribu pasien. Fungsi ini dijalani sepanjang masa perang, sebelum akhirnya kembali beroperasi sebagai kapal penumpang dan kargo pada 1946.
Tjitjalengka sempat singgah di Tanjung Priok pada Maret 1948, namun perjalanan panjangnya tidak selalu mulus. Pada 26 September 1959, kapal ini kandas di Teluk Nagoya akibat badai. Berkat upaya pengerukan yang dilakukan beberapa bulan kemudian, Tjitjalengka berhasil diselamatkan dan kembali melanjutkan pelayaran.
Masa aktif kapal berakhir pada 1968, ketika dijual sebagai besi tua kepada perusahaan Ming Hing & Co di Hongkong. Proses pembongkarannya selesai pada 10 November pada tahun yang sama. Meski tak lagi berlayar, kisah Tjitjalengka tetap tersimpan dalam arsip dan pemberitaan surat kabar Eropa, terutama sejak peletakan lunasnya pada 1938 hingga perjalanannya ke berbagai pelabuhan Asia. (wrd)