JAKARTA| Priangan.com – Setiap tanggal 17 Oktober, masyarakat Haiti memperingati Hari Dessalines, hari bersejarah untuk mengenang seorang tokoh yang mengubah arah bangsa mereka, Jean-Jacques Dessalines. Ia bukan sekadar pemimpin militer atau politikus, tetapi juga pejuang kemerdekaan dan simbol pembebasan rakyat yang selama berabad-abad hidup dalam bayang-bayang perbudakan kolonial.
Dilansir dari Alchetron, kisah perjuangan ini bermula ketika Revolusi Haiti, yang dikenal sebagai pemberontakan budak terbesar dan paling berhasil di dunia Barat. Pemberontakan melawan kekuasaan Prancis dimulai pada tahun 1791 dan dipimpin oleh Toussaint Louverture, seorang mantan budak yang menjadi simbol perlawanan.
Namun perjuangan itu tidak berjalan mulus. Ketika Napoleon berusaha mengembalikan kekuasaan Prancis di koloni tersebut, Louverture ditangkap pada tahun 1802 dan wafat di penjara Prancis setahun kemudian.
Setelah Louverture gugur, kepemimpinan revolusi beralih kepada Jean-Jacques Dessalines, salah satu letnannya yang paling tangguh. Di bawah komandonya, pasukan Haiti berhasil menaklukkan tentara Prancis dalam Pertempuran Vertières pada 18 November 1803. Kemenangan ini memaksa Prancis menarik pasukannya dari pulau tersebut, menandai berakhirnya kekuasaan kolonial mereka di Karibia.
Beberapa bulan kemudian, pada 1 Januari 1804, Dessalines memproklamasikan kemerdekaan Haiti di kota Gonaïves. Ia mengganti nama koloni itu menjadi Haiti, yang berasal dari bahasa penduduk asli Taíno dan berarti “tanah pegunungan.” Ia juga menetapkan penghapusan perbudakan secara permanen, menjadikan Haiti negara pertama di Benua Amerika yang sepenuhnya membebaskan budak.
Namun, kehidupan setelah kemerdekaan tidak sepenuhnya bebas. Banyak mantan budak masih harus bekerja di perkebunan atau bergabung dalam pasukan militer demi menjaga kestabilan negara yang baru berdiri.
Walau dikenal sebagai pembebas, Dessalines juga meninggalkan catatan kelam dalam sejarah. Pada tahun yang sama, ia memerintahkan pembantaian terhadap ribuan warga Prancis yang masih tinggal di pulau itu dan sekitar 5.000 orang tewas. Tindakan ini mencerminkan kemarahan mendalam akibat kekejaman kolonial selama berabad-abad, tetapi juga membuat sosoknya dikenal sebagai pemimpin yang keras dan kejam.
Pada Oktober 1804, Dessalines memproklamasikan dirinya sebagai Kaisar Haiti pertama, dan setahun kemudian dinobatkan sebagai kaisar seumur hidup. Namun kekuasaannya tidak bertahan lama. Dua tahun setelah kemerdekaan, pada 17 Oktober 1806, ia dibunuh oleh kelompok politik yang menentangnya di Pont-Rouge, dekat ibu kota Port-au-Prince.
Sejak saat itu, tanggal tersebut dikenang setiap tahun sebagai Hari Dessalines, bukan hanya untuk memperingati kematiannya, tetapi juga untuk menghormati perjuangannya yang membawa Haiti menuju kebebasan.
Selama abad ke-19, banyak rakyat Haiti memandang Dessalines sebagai penguasa tiran karena gaya kepemimpinannya yang keras. Namun pandangan itu mulai berubah di abad ke-20, ketika semangat nasionalisme Haiti kembali tumbuh. Sosoknya kemudian dikenang sebagai pahlawan pembebasan dan pendiri bangsa. Penghargaan tertinggi terhadap warisannya datang pada tahun 1903, saat lagu kebangsaan Haiti, “La Dessalinienne”, dinyanyikan untuk pertama kali dan dinamai untuk menghormatinya, meskipun liriknya tidak secara langsung menyebut namanya.
Kini, Jean-Jacques Dessalines tetap dihormati sebagai tokoh penting dalam sejarah dunia. Ia dikenang sebagai pendiri bangsa Haiti, pejuang yang menolak tunduk pada penjajahan, dan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Hari Dessalines bukan hanya mengenang akhir hidupnya, tetapi juga merayakan semangat perjuangan dan kebebasan yang diwariskannya bagi rakyat Haiti dan dunia. (LSA)

















