JAKARTA | Priangan.com – Jamu, minuman herbal khas Indonesia, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya bangsa. Lebih dari sekadar ramuan kesehatan, jamu mencerminkan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dari zaman Kerajaan Mataram hingga era modern, tradisi minum jamu terus bertahan, bahkan kini mendapatkan pengakuan dunia sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) oleh UNESCO pada tahun 2023. Pengakuan ini mengukuhkan jamu sebagai simbol harmoni antara manusia dan alam serta relevansi budayanya dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Istilah “jamu” diyakini berasal dari bahasa Jawa Kuno, “Djampi” yang berarti penyembuhan, dan “Oesodo” yang bermakna kesehatan. Ada pula teori yang menyebutkan bahwa kata ini merupakan gabungan dari “Jawa” dan “ngramu”, yang berarti ramuan khas Jawa. Bukti sejarah penggunaan jamu ditemukan di berbagai situs arkeologi, seperti situs Liyangan di lereng Gunung Sindoro, relief Karmawibhangga di Candi Borobudur, serta prasasti Madhawapura yang menyebutkan istilah “Acaraki” untuk peracik jamu.
Sejak zaman Kerajaan Mataram, jamu telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Perempuan memainkan peran penting dalam memproduksi jamu, sementara laki-laki bertugas mencari bahan herbal dari alam. Temuan artefak seperti cobek dan ulekan di situs Liyangan menunjukkan bagaimana proses pembuatan jamu dilakukan dengan peralatan sederhana.
Jamu terbuat dari berbagai tanaman herbal seperti kunyit, temulawak, lengkuas, jahe, kencur, dan kayu manis. Penambah rasa seperti gula jawa, gula batu, dan jeruk nipis digunakan untuk memberikan cita rasa segar dan manis. Namun, pembuatan jamu bukan hanya soal mencampur bahan; takaran, suhu, dan waktu pengolahan harus diperhatikan agar khasiatnya tetap terjaga.
Serat Centhini (1814–1823) mencatat bahwa jamu dapat mengobati berbagai penyakit seperti panas dingin, batuk, hingga gangguan saraf. Pada abad ke-17, Jacobus Bontius, seorang ilmuwan Belanda, bahkan menggunakan jamu untuk mengobati Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen. Fakta ini menunjukkan bahwa jamu telah lama dikenal sebagai solusi kesehatan, bahkan di luar Nusantara.
Tradisi minum jamu mengalami pasang surut. Pada masa penjajahan Jepang sekitar tahun 1940-an, Komite Jamu Indonesia didirikan untuk menghidupkan kembali minat terhadap jamu. Sejak itu, penjualan jamu mulai menyesuaikan teknologi modern, seperti dalam bentuk pil, tablet, atau bubuk instan.
Tahun 1974 hingga 1990 menjadi masa keemasan industri jamu. Pemerintah memberikan dukungan berupa pembinaan dan bantuan untuk meningkatkan produksi jamu. Namun, di era modern, tradisi pengajaran pembuatan jamu secara turun-temurun mulai terkikis. Penjualan jamu gendong, yang dulunya populer, kini semakin jarang ditemukan. Banyak anak muda lebih memilih jamu instan yang praktis dibanding mempelajari cara tradisional.
Tradisi minum jamu mengalami pasang surut. Pada masa penjajahan Jepang sekitar tahun 1940-an, Komite Jamu Indonesia didirikan untuk menghidupkan kembali minat terhadap jamu. Sejak itu, penjualan jamu mulai menyesuaikan teknologi modern, seperti dalam bentuk pil, tablet, atau bubuk instan.
Tahun 1974 hingga 1990 menjadi masa keemasan industri jamu. Pemerintah memberikan dukungan berupa pembinaan dan bantuan untuk meningkatkan produksi jamu. Namun, di era modern, tradisi pengajaran pembuatan jamu secara turun-temurun mulai terkikis. Penjualan jamu gendong, yang dulunya populer, kini semakin jarang ditemukan. Banyak anak muda lebih memilih jamu instan yang praktis dibanding mempelajari cara tradisional.
Jamu Mendunia
Pengakuan UNESCO terhadap budaya sehat jamu sebagai WBTb ke-13 dari Indonesia menjadi tonggak penting dalam sejarah jamu. Sidang Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Botswana pada Desember 2023 menilai bahwa budaya jamu tidak hanya menjadi ekspresi budaya, tetapi juga sejalan dengan upaya pembangunan berkelanjutan.
Data Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA) menunjukkan Indonesia memiliki 32.013 ramuan tradisional dan 2.848 spesies tumbuhan sebagai bahan baku jamu. Keanekaragaman ini menjadi salah satu kekuatan utama jamu sebagai minuman herbal yang tidak hanya bermanfaat untuk kesehatan, tetapi juga mendukung pelestarian alam.
Sebagai warisan nenek moyang, jamu memerlukan perhatian generasi muda untuk menjaga keberlangsungannya. Dengan pengakuan UNESCO, peluang bagi jamu untuk semakin mendunia terbuka lebar. Tantangan yang ada, seperti minimnya minat generasi muda terhadap tradisi pembuatan jamu, perlu diatasi melalui edukasi dan inovasi agar jamu tetap relevan di tengah perkembangan zaman.
Jamu bukan sekadar minuman herbal, melainkan simbol identitas bangsa yang kaya akan tradisi dan kebijaksanaan lokal. Sebagai warisan budaya, jamu akan terus menjadi kebanggaan Indonesia, menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. (mth)