NEW YORK | Priangan.com — Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat kembali mengemuka di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rabu 25 Desember 2025. Di tengah wacana dibukanya kembali jalur diplomasi nuklir, Tehran menegaskan tidak akan menerima tuntutan Washington yang mensyaratkan penghentian total pengayaan uranium.
Pemerintah Iran menilai sikap AS justru menjauhkan peluang perundingan yang setara. Tuntutan “nol pengayaan” dianggap bertentangan dengan hak Iran sebagai negara penandatangan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), sekaligus mencerminkan pendekatan tekanan yang terus diulang Washington.
Pernyataan tersebut disampaikan Duta Besar Iran untuk PBB, Amir Saeid Iravani, saat menanggapi pernyataan perwakilan AS untuk Timur Tengah, Morgan Ortagus. Dalam forum DK PBB, Ortagus menyebut Washington masih membuka pintu dialog, namun hanya jika Iran bersedia menghentikan sepenuhnya pengayaan uranium dan bersedia berunding secara langsung.
Iran menilai pendekatan itu bukanlah tawaran diplomasi, melainkan upaya memaksakan kehendak. Iravani menegaskan Tehran tidak menolak negosiasi, tetapi menolak prasyarat yang dinilai melanggar kedaulatan nasional. “Kami tidak mencari konflik, tetapi juga tidak akan menerima tekanan dan intimidasi,” ujarnya di hadapan forum.
Menurut Iravani, AS tidak sedang mendorong perundingan yang adil. Ia menilai Washington telah menetapkan hasil sejak awal dan mengharapkan Iran hanya mengikuti kerangka yang disusun sepihak. Sikap semacam itu, kata dia, tidak sejalan dengan prinsip dialog yang saling menghormati.
Perdebatan ini kembali membuka luka lama kegagalan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Kesepakatan tersebut runtuh setelah Amerika Serikat menarik diri secara sepihak pada 2018, langkah yang hingga kini terus dikritik Iran sebagai pemicu ketidakstabilan regional.
Upaya menghidupkan kembali JCPOA juga terhambat oleh eskalasi terbaru. Iran menuding serangan terhadap sejumlah fasilitas nuklirnya pada pertengahan tahun — yang dikaitkan dengan AS dan Israel — sebagai agresi terhadap program nuklir damai. Tehran menyatakan serangan itu semakin mempersempit ruang kepercayaan.
Presiden Iran Masoud Pazeshkian sebelumnya menyatakan fasilitas yang rusak akan dibangun kembali. Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi menegaskan bahwa pengayaan uranium merupakan hak yang tidak dapat dinegosiasikan. Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump kembali melontarkan peringatan keras, menyebut Washington siap mengambil langkah militer baru jika aktivitas nuklir Iran terus berlanjut.
Situasi ini menempatkan diplomasi nuklir kembali di persimpangan. Di satu sisi, wacana dialog terus digaungkan. Di sisi lain, perbedaan mendasar soal hak, prasyarat, dan kepercayaan masih menjadi tembok tebal yang memisahkan Washington dan Tehran. (Zia)

















