TASIKMALAYA | Priangan.com – Di Kampung Galonggong, RT 12 RW 04, Desa Cilangkap, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, tradisi membuat golok sudah berlangsung selama hampir satu abad. Nama besar golok Galonggong bahkan melekat sebagai bagian dari identitas warga di sana. Dari generasi ke generasi, keahlian menempa baja dan membentuk bilah diwariskan tanpa putus.
Iing Ibrahim (74), salah satu perajin senior, menuturkan bahwa tradisi ini sudah ada bahkan sejak zaman buyutnya, Uyut Wangsa, yang hidup pada tahun 1925. Menurutnya, sejak itulah keterampilan membuat bilah golok turun temurun di keluarganya.
Setelah masa buyutnya berakhir, usaha pembuatan bilah golok kemudian diteruskan oleh kakeknya Marnaif, hingga Bah Wikarta yang mulai memasarkan golok ke luar wilayah Galonggong.
“Sekarang saya melanjutkan bersama anak cucu, bahkan sudah sampai generasi kelima,” kata Iing, saat ditemui di lapak miliknya, Rabu(24/9/2025).
Iing mengaku, sejak duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) ia sudah akrab dengan dunia golok. Iing belajar langsung dari proses tempa hingga pemasaran. Pada tahun 1999, ia lalu nekat membuka lapak di pinggir jalan.
“Saya yang pertama kali buka lapak di sini. Awalnya cuma iseng, lama-lama dikenal orang. Dari sanalah mulai menjamur. Tetangga-tetangga lain mulai ikutan buka lapak di pinggir jalan,” ujarnya.
Kini, lanjut Iing, di kampung Galonggong sendiri sedikitnta terdapat sekitar 30 perajin yang masih aktif membuat golok. Mereka memproduksi berbagai jenis, dari golok harian hingga koleksi.
Harga yang ditawarkan cukup beragam, mulai dari Rp150 ribu hingga Rp7,5 juta, tergantung kualitas bahan dan tingkat kerumitan.
“Yang mahal itu biasanya karena dilapis baja berlapis-lapis, pengerjaannya lebih rumit,” tutur Iing.
Bahan yang digunakan pun tidak sembarangan. Baja modern dan per mobil dipilih karena kuat dan cocok untuk berbagai kebutuhan, seperti menebas atau menyembelih. Untuk gagang, para perajin biasanya memanfaatkan tanduk kerbau atau sapi.
“Kalau tanduk agak susah nyarinya, biasanya kami datangkan dari Bengkulu, Palembang, Medan, sampai Sulawesi dan Makassar. Kalau kayu gagang, seringnya pakai dari Bengkulu,” jelasnya.
Dalam sehari, Iing mengaku bisa menghasilkan dua hingga tiga bilah golok. Proses pengerjaan meliputi tempa, mipih (meratakan), hingga pemasangan gagang. Menurutnya, Golok Galonggong tidak hanya diminati di Tasikmalaya saja, tapi juga banyak dipesan dari luar daerah.
“Hampir tiap hari ada yang dikirim ke Jawa, ada juga yang pesan dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Pekanbaru. Sekarang mah banyak lewat online,” imbuhnya. (wrd)