YOGYAKARTA | Priangan.com – Pada awal dekade 1960-an, beberapa daerah di Yogyakarta, khususnya Gunung Kidul, menghadapi bencana kelaparan yang sangat mengerikan. Itu terjadi akibat gagal panen dan kekeringan yang berkepanjangan. Bencana ini tak hanya merenggut kehidupan, tetapi juga memicu kemunculan Gerakan Rakyat Kelaparan (GERAYAK).
Sejak dulu, kawasan Gunung Kidul dikenal dengan kondisi tanahnya yang gersang dan sulit untuk ditanami. Maka dari itu, selama beberapa periode kekeringan ekstrem melanda wilayah ini. Keberadaan hama yang merusak padi ditambah kondisi cuaca yang tak menentu semakin memperburuk keadaan. Kombinasi faktor-faktor ini lah yang menyebabkan gagal panen berkepanjangan.
Puncak dari krisis ini adalah munculnya penyakit Hongeroedeem (Ho), sebuah penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan makanan parah. Keadaan ini kemudian menciptakan kondisi gizi yang sangat buruk di kalangan penduduk Gunung Kidul pada era tahun 1960-an.
Di tengah-tengah bencana tersebut, sekitar tahun 1964, Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama Barisan Tani Indonesia (BTI ) kemudian membentuk sebuah komite yang dinamakan Gerakan Rakjat Kelaparan (GERAYAK). Disinyalir, komite ini dibentuk sebagai salah satu strategi PKI yang memanfaatkan situasi untuk menuntut reforma agraria kepada pemerintah.
Setelah komite tersebut dibentuk, berbagai kasus kemudian terjadi. Gerakan sporadis ini tak jarang melakukan aksi meminta bahan pangan kepada orang-orang kaya. Ironisnya, dalam beberapa kejadian aksi tersebut disertai dengan pemaksaan dan kekerasan. Walhasil, tak sedikit dari kalangan kaya yang didera rasa takut pada saat itu.
Meski begitu, seiring berjalannya waktu, aksi dari gerakan ini mengalami penurunan. Itu karena para petani mulai kurang tertarik dan semakin enggan terlibat dalam aktivitas politik. Kendati sudah surut, jejaknya masih dikenang sebagai bagian dari sejarah sosial dan politik Indonesia. (Ldy)