AVADH | Priangan.com – Pada suatu malam di tahun 1857, sebuah gerakan aneh mulai menyebar di pedalaman India. Bukan pemberontakan bersenjata, bukan pula pidato menggelegar di alun-alun kota. Melainkan sesuatu yang lebih sederhana. Hanya sesuatu yang tampak sepele, namun cukup untuk membuat para pejabat Inggris merasa gelisah, sepotong roti.
Chapati, roti pipih tak beragi yang menjadi makanan pokok masyarakat India, mulai berpindah dari satu desa ke desa lain dalam jumlah yang mencengangkan. Tidak ada pesan tertulis, tidak ada simbol mencolok. Hanya roti, dikirimkan dari tangan ke tangan, tanpa ada yang benar-benar memahami maknanya.
Tidak ada yang tahu dari mana asalnya atau apa tujuannya. Namun, gerakan ini cukup untuk membuat pejabat kolonial Inggris bingung dan waspada.
Saat itu, India berada di bawah kekuasaan Perusahaan Hindia Timur. Kebijakan pajak yang menindas, perampasan tanah, serta reformasi sosial yang dipaksakan Inggris memicu keresahan di kalangan penduduk asli.
Para sepoy, tentara India yang direkrut oleh Inggris, juga mulai gelisah akibat perlakuan diskriminatif berbasis kasta. Selain itu, beredar isu bahwa Inggris berusaha memaksakan agama Kristen kepada rakyat India.
Di tengah ketegangan ini, laporan tentang chapati misterius mulai bermunculan. Roti-roti tersebut didistribusikan oleh penjaga desa atau chowkidar yang menerima instruksi untuk membuat lebih banyak chapati dan meneruskannya ke desa lain.
Fenomena ini menyebar luas, dari sungai Narmada di selatan hingga perbatasan Nepal di utara. Dalam beberapa kasus, chapati bahkan menyebar sejauh 200 mil dalam semalam.
Seorang dokter bedah militer Inggris, Dr. Gilbert Hadow, menulis kepada saudara perempuannya bahwa sebuah peristiwa aneh sedang terjadi di seluruh India. Tidak ada yang tahu apakah ini bagian dari ritual keagamaan atau gerakan rahasia. Fenomena ini kemudian dikenal sebagai “Gerakan Chapati.”
Ketidakmampuan Inggris untuk memahami dan menghentikan fenomena ini membuat mereka semakin paranoid. Jika yang disebarkan adalah surat-surat berisi propaganda, tentu bisa dihentikan. Namun, bagaimana mereka bisa melarang orang untuk membagikan makanan?
Mark Thornhill, seorang hakim di Mathura, pertama kali menyadari fenomena ini saat menerima seikat roti basi di kantornya. Ia mencoba melacak asalnya, tetapi chapati itu sudah melewati banyak tangan. Tidak ada tanda-tanda khusus, tidak ada petunjuk yang bisa dipecahkan.
Kecurigaan Inggris semakin bertambah ketika rumor mulai beredar di kalangan masyarakat India. Salah satu rumor menyebut bahwa Inggris sengaja mencampur tepung dengan tulang sapi dan babi untuk menodai makanan penduduk asli dan memaksa mereka masuk Kristen. Kepercayaan ini semakin memperdalam ketidakpercayaan rakyat terhadap kolonial.
Kekhawatiran lain muncul dari kalangan sepoy. Inggris baru saja memperkenalkan senapan Enfield dengan kartrid berminyak yang harus digigit sebelum digunakan.
Isu yang berkembang menyebutkan bahwa pelumasnya berasal dari lemak sapi dan babi, yang membuat prajurit Hindu dan Muslim merasa agamanya dinodai. Meskipun Perusahaan Hindia Timur membantah tuduhan ini, rasa curiga sudah telanjur merasuk ke dalam benak para prajurit.
Tak butuh waktu lama, ketidakpuasan berubah menjadi pemberontakan. Perlawanan sepoy yang meletus tak hanya melawan kebijakan senapan berminyak, tetapi juga semua bentuk penindasan Inggris.
Pemberontakan ini dikenal sebagai Perang Kemerdekaan India Pertama dan menjadi salah satu titik balik dalam sejarah kolonial Inggris.
Peristiwa ini menyebabkan runtuhnya Perusahaan Hindia Timur yang telah berkuasa selama lebih dari dua abad. India kemudian berada langsung di bawah kendali Kerajaan Inggris.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa gerakan chapati mungkin bermula dari upaya untuk membantu mereka yang terkena wabah kolera. Namun, di tengah suasana penuh ketidakpercayaan, chapati yang awalnya hanya roti biasa berubah menjadi simbol perlawanan. (Lsa)