DEPOK | Priangan.com – Beberapa bulan pasca Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, ketegangan masih terasa di berbagai daerah. Di saat banyak wilayah merayakan kebebasan, Depok justru menjadi lokasi peristiwa berdarah yang kini dikenal dengan sebutan Gedoran Depok.
Semuanya bermula pada akhir abad ke-17. Kala itu, seorang pejabat VOC bernama Cornelis Chastelein membeli tanah di wilayah tersebut dan menjadikannya sebagai tanah partikelir. Status itu membuat Depok berjalan dengan sistem pemerintahan tersendiri, terpisah dari administrasi Hindia Belanda. Selama berpuluh tahun kemudian, kawasan itu berkembang dengan ciri khas masyarakat campuran yang sebagian besar adalah keturunan Chastelein dan masih memiliki hubungan erat dengan Belanda.
Ketika Jepang masuk pada 1942, kekuasaan Depok mulai surut. Namun sebagian besar penduduk keturunan Chastelein tetap menikmati perlakuan khusus. Situasi ini membuat Depok terlihat berbeda dibandingkan dengan wilayah lain di sekitar Batavia.
Saat Indonesia menyatakan kemerdekaan, bendera Merah Putih tidak tampak berkibar di Depok. Kondisi itu menimbulkan kecurigaan para pemuda pejuang yang menilai Depok enggan mengakui Republik. Kemarahan pun tak terbendun. Hingga pada awal Oktober 1945, ratusan hingga ribuan pemuda dari berbagai daerah mulai merapat ke kota kecil itu.
Aksi puncak berlangsung pada 11 Oktober 1945, ketika sekitar empat ribu pemuda melakukan serangan besar. Rumah-rumah warga digedor, penghuninya dipaksa keluar, sebagian diungsikan, dan sebagian lainnya ditawan. Warga perempuan dan anak-anak dibiarkan tetap tinggal, sedangkan laki-laki dewasa dipindahkan ke Kedung Halang, Bogor. Istilah “gedoran” muncul dari kerasnya bunyi pintu yang dihantam para pemuda ketika memaksa masuk rumah-rumah warga.
Walau begitu, kekuasaan pemuda di Depok tak bertahan lama. Pasukan NICA datang dan segera membebaskan warga yang ditahan. Markas Tentara Keamanan Rakyat yang semula digunakan untuk mengatur pertahanan diambil alih oleh pihak Belanda. Pertempuran kembali pecah pada November 1945, salah satunya di sekitar Kalibata. Korban jiwa pun berjatuhan.
Peristiwa Gedoran Depok akhirnya perlahan mereda setelah status tanah partikelir dihapus pada April 1949. Setahun kemudian, tepatnya Desember 1949, Belanda resmi mengakui kedaulatan Indonesia. Sejak saat itu, Depok tidak lagi menjadi daerah istimewa dengan pemerintahan sendiri, melainkan menyatu sebagai bagian dari Republik Indonesia. (wrd)