PARIS | Priangan.com – Lebih dari dua abad yang lalu, langit Paris menjadi saksi lahirnya keberanian baru manusia dalam menantang batas. Setelah dunia menyaksikan penerbangan balon udara pertama yang membawa manusia pada 21 November 1783, muncul seorang pria bernama André-Jacques Garnerin yang tidak puas hanya dengan terbang tinggi. Ia ingin membuktikan bahwa manusia juga bisa turun dari langit dengan selamat. Dari tekad dan rasa ingin tahunya, lahirlah penemuan yang kemudian dikenal sebagai parasut modern.
André-Jacques Garnerin lahir di Paris pada 31 Januari 1769. Salah satu artikel SP’s Aviation ide nya terbit saat Revolusi Prancis mengguncang Eropa, ia tertawan oleh pasukan Inggris dan dipenjara selama tiga tahun di Buda, Hongaria. Di tengah kesunyian penjara, pikirannya melayang mencari cara untuk melarikan diri. Dari situlah muncul ide membuat alat yang bisa menahan tubuh manusia agar tidak jatuh terlalu cepat dari ketinggian. Meskipun ia tidak sempat mencoba idenya di penjara, gagasan itu terus melekat di benaknya dan menjadi mimpi yang ingin ia wujudkan suatu hari nanti.
Setelah dibebaskan, Garnerin mulai mendalami dunia aeronautika yang saat itu sedang berkembang pesat. Ia belajar mengoperasikan balon udara dan akhirnya diangkat sebagai Official Aeronaut of France, sebuah gelar bergengsi bagi penjelajah langit. Namun bagi Garnerin, terbang saja belum cukup. Ia ingin membuktikan bahwa manusia juga bisa menjelajahi langit dengan cara yang berbeda, dengan jatuh, tapi tetap hidup.
Pada 22 Oktober 1797, di Taman Parc Monceau, Paris, Garnerin memutuskan untuk mewujudkan idenya. Ia merancang parasut berdiameter sekitar tujuh meter dari kain sutra yang dibentuk seperti payung raksasa. Di bawahnya, ia memasang gondola kecil dari anyaman rotan sebagai tempat duduk. Alat itu kemudian diikat pada balon udara. Garnerin terangkat setinggi seribu meter, lalu dengan berani memutuskan tali yang menghubungkan parasut dengan balon. Dalam sekejap, ia terjun bebas di udara, menantang maut di hadapan ratusan penonton.
Angin membuat gondolanya berayun hebat, namun perlahan parasut terbuka sempurna dan menahan lajunya. Garnerin mendarat dengan selamat meski sempat dilaporkan mengalami mual berat akibat guncangan. Penonton bersorak gembira menyambut keberhasilannya. Ia bukan hanya selamat, tetapi juga telah membuka jalan baru dalam sejarah penerbangan.
Di antara kerumunan penonton hari itu ada seorang perempuan muda bernama Jeanne-Geneviève Labrosse. Pertemuan itu menjadi awal kisah mereka berdua. Jeanne kemudian menjadi murid Garnerin, ikut terbang bersamanya, dan akhirnya menjadi istrinya.
Pada 12 Oktober 1799, Jeanne mencetak sejarah sebagai perempuan pertama yang melakukan terjun parasut dari ketinggian sekitar 900 meter. Semangat keluarga ini pun menular ke keponakan mereka, Elisa Garnerin, yang melakukan sekitar 40 lompatan antara tahun 1815 dan 1836.
Meski penemuan Garnerin terbilang sukses, parasutnya masih sering berayun tak terkendali. Setelah beberapa kali mencoba, ia baru menyadari bahwa hal itu terjadi karena udara terperangkap di bawah kanopi tanpa jalan keluar. Atas saran sahabatnya, astronom Jérôme de Lalande, Garnerin kemudian menambahkan lubang kecil di bagian tengah parasut agar udara dapat keluar dengan lebih teratur. Perubahan sederhana itu membuat parasut jauh lebih stabil dan mudah dikendalikan. Parasut model terbaru inilah yang menjadi dasar dari desain parasut modern yang kita kenal sekarang.
Selama hidupnya, Garnerin telah melakukan lebih dari dua ratus lompatan di berbagai negara. Ia tidak hanya menjadi penghibur bagi penonton, tetapi juga peneliti yang haus akan pengetahuan. Dalam beberapa penerbangan panjangnya, ia mencatat arah dan kecepatan angin serta membawa wadah air ke udara untuk meneliti tekanan atmosfer. Penelitiannya membantu memperkaya pemahaman ilmiah pada masanya dan menginspirasi tokoh-tokoh besar seperti Alexander von Humboldt.
Ironisnya, kematian Garnerin tidak disebabkan oleh kegagalannya di udara. Pada 18 Agustus 1823, ketika sedang menyiapkan balon untuk sebuah penerbangan, angin kencang tiba-tiba datang dan menggulingkan peralatannya. Sebuah balok kayu besar menghantam kepalanya dan merenggut nyawanya di tempat. Ia meninggal bukan karena jatuh dari langit, melainkan karena semangatnya yang tak pernah padam untuk terus terbang.
Warisan Garnerin tidak berhenti di sana. Hampir seratus tahun setelah kematiannya, parasut mulai digunakan secara luas pada masa Perang Dunia I sebagai alat penyelamat bagi pasukan udara. Setelah Perang Dunia II, terjun payung berkembang menjadi olahraga yang digemari di seluruh dunia.
Pada tahun 1951, Fédération Aéronautique Internationale (FAI) secara resmi mengakui parachuting sebagai cabang olahraga udara internasional. Kini, diperkirakan lebih dari 100.000 penerjun aktif di seluruh dunia melakukan lompatan setiap tahun, bukti bahwa gagasan sederhana dari seorang tahanan perang dua abad silam telah berubah menjadi simbol keberanian dan kebebasan manusia di langit. (LSA)

















