BEKASI | Priangan.com – Deep Intelligence Research bersama DEEP Indonesia dan Rumah Perubahan menggelar diskusi akhir tahun di Bekasi pada Senin, 2 Desember 2025. Forum ini menghadirkan sejumlah tokoh dari berbagai bidang untuk meninjau kembali perkembangan situasi nasional sekaligus membahas tantangan yang muncul seiring pesatnya perkembangan teknologi.
Pada sesi awal, Prof. Rhenald Kasali menyampaikan pandangannya mengenai perubahan pola ancaman global yang kini banyak dipengaruhi sistem otomatis dan teknologi digital. Ia menilai bahwa bentuk konflik modern sudah tidak sama seperti beberapa dekade sebelumnya.
“Sekarang keputusan bisa muncul dari sistem yang bekerja tanpa intervensi manusia. Jika negara tidak beradaptasi, risikonya cukup besar,” ujar Rhenald.
Ia menjelaskan bahwa percepatan teknologi menuntut pemerintah mengubah cara kerja agar mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan baru yang berkembang di masyarakat.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur DEEP Indonesia sekaligus Direktur Komunikasi DIR, Neni Nur Hayati, memaparkan hasil riset berbasis kecerdasan buatan terhadap percakapan publik di media sosial sepanjang 2025. Dari lebih dari seratus ribu data percakapan yang dianalisis, ditemukan adanya penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap sejumlah sektor pemerintahan.
“Isu otoritarianisme, konflik antar elite, proses PSU yang panjang, hingga respons terhadap komunikasi kebijakan menjadi topik yang paling banyak dibicarakan. Lonjakan percakapan tampak jelas saat aksi nasional 28 Agustus,” kata Neni.
Ia menyebutkan bahwa publik menyoroti ketidakselarasan dalam penegakan hukum. Percakapan mengenai revisi KUHAP serta beberapa kasus besar sering kali menimbulkan respons negatif. Sentimen terhadap lembaga antikorupsi pun menunjukkan kecenderungan menurun.
“Program Makan Bergizi Gratis banyak dibahas, namun sebagian besar komentar mempertanyakan kesiapan pelaksanaannya. Janji pertumbuhan ekonomi 8 persen dinilai belum meyakinkan,” ujar Neni.
Riset tersebut juga mencatat adanya jarak persepsi antara publik dan pemberitaan media terkait isu Gaza. Neni menilai bahwa warganet menunjukkan tingkat ketidakpercayaan yang lebih tinggi dibandingkan narasi yang muncul di media arus utama.
“Banyak masyarakat merasa kebijakan tidak sejalan dengan pengalaman sehari-hari mereka. Situasi ini menunjukkan adanya jarak yang perlu segera dijembatani,” ucapnya.
Menanggapi paparan tersebut, Rhenald menilai bahwa pemerintah perlu meninggalkan pola kerja yang terlalu birokratis dan lambat. Ia menilai bahwa tantangan saat ini sebagian besar bersumber dari teknologi digital, informasi yang mudah diolah, dan perkembangan kecerdasan buatan.
“Warga sehari-hari hidup dengan pola pikir digital. Pemerintah perlu mengikuti ritme itu agar kepercayaan tidak semakin menurun,” kata Rhenald.
Forum ini turut dihadiri para akademisi, politisi, dan praktisi teknologi yang memberikan pandangan terkait tata kelola negara di era perubahan cepat. Keberadaan mereka mencerminkan pentingnya kerja bersama untuk menjawab persoalan yang muncul sepanjang tahun.
Menutup jalannya forum, Neni menegaskan bahwa ketersediaan data kini bukan lagi persoalan utama. Tantangannya terletak pada kemampuan memanfaatkan data tersebut secara tepat untuk mengambil keputusan.
“Pertanyaan terpentingnya adalah bagaimana langkah selanjutnya dan siapa yang ikut terlibat. Kerja sama lintas sektor menjadi hal yang tidak bisa dihindari,” ujar Neni. (Eri)

















