HINDIA BELANDA | Priangan.com – Di awal abad ke-20, pendidikan adalah hal yang sangat sulit bagi kaum bumiputra. Kala itu, sistem pendidikan masih memperlihatkan ketimpangan besar. Europeesche Lagere School (ELS), misalnya, sekolah dasar yang dibangun pemerintah kolonial ini adalah contoh nyata bagaimana pendidikan menjadi simbol status sosial dan etnis pada masa itu.
Didirikan khusus untuk anak-anak keturunan Belanda dan bangsa Eropa lainnya, ELS menjadi wadah pendidikan eksklusif yang jarang bisa diakses oleh anak-anak bumiputra.
Secara historis, ELS hadir sebagai kelanjutan dari sistem pendidikan dasar bagi warga keturunan Eropa yang sebelumnya telah ada sejak tahun 1818 melalui Lager Onderwijs.
Namun, ELS membawa standar yang lebih tinggi, mengadopsi kurikulum yang sama dengan sekolah-sekolah di Belanda, yang berfokus pada persiapan akademik berbasis kurikulum Eropa. Bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar utama, hal ini menjadikan ELS sebagai sekolah yang menuntut kemahiran bahasa sejak dini.
Di sana, anak-anak bumiputra jarang diterima, kecuali mereka yqng berasal dari golongan bangsawan atau dari perkawinan campuran. Bahkan bagi mereka, untuk bisa masuk harus melalui serangkaian ujian seleksi untuk membuktikan kemampuan bahasa Belanda mereka. Meski ada peluang bagi sebagian kecil bumiputra, sebagian besar kursi tetap dikhususkan untuk anak-anak Belanda.
Pada masa awal, ELS menetapkan durasi studi selama tiga tahun, namun belakangan diperpanjang menjadi tujuh tahun pada tahun 1907. Perubahan ini bertujuan untuk memperdalam pendidikan dasar yang diberikan, terutama dalam pelajaran-pelajaran seperti Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan dasar-dasar bahasa asing seperti Inggris dan Prancis.
Pendidikan di ELS tidak hanya terbatas pada ilmu akademik, tapi juga pelatihan keterampilan seperti menggambar, menjahit (untuk murid perempuan), dan pendidikan jasmani.
Tak berhenti sampai di sana, ELS juga mempersiapkan para lulusannya untuk melanjutkan ke sekolah lanjutan, seperti STOVIA, khususnya bagi mereka yang tertarik pada bidang kedokteran. Namun, kesempatan melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi ini lebih banyak terbuka untuk anak-anak Belanda, sementara bumiputra yang berhasil masuk ELS tetap menghadapi keterbatasan sosial meskipun memiliki kualifikasi akademik.
Dalam masyarakat Hindia Belanda, keberadaan ELS menjadi cerminan dari sistem pendidikan yang berstrata, di mana akses pendidikan berkualitas hanya dapat diraih oleh kelompok tertentu. Meski ada beberapa lulusan bumiputra yang mampu menembus batasan sosial ini dan melanjutkan pendidikan tinggi, sebagian besar tetap mengalami diskriminasi dalam prosesnya. (ersuwa)