Ekonomi Lesu di Pasar Tradisional: Pedagang dan Pembeli Sama-Sama Tersandera Harga Pangan

TASIKMALAYA | Priangan.com – Pasar tradisional yang dulu dikenal sebagai denyut nadi perekonomian rakyat kecil, kini berubah menjadi tempat penuh keluhan. Pedagang ayam potong dan telur di Kabupaten Tasikmalaya menjerit karena penjualan anjlok, sementara harga kebutuhan pokok justru melonjak.

Eris, seorang pedagang ayam potong di Pasar Singaparna, menggambarkan situasi itu dengan getir. Jika hari-hari biasanya ia bisa menjual hingga 70 ekor ayam sehari, kini paling banter hanya 30 ekor. “Repot pak, kalau lagi rame mah bisa jual 70 ekor. Ayeunamah (sekarang) boro-boro, 30 ekor aja sudah syukur,” keluhnya.

Ayam-ayam yang tidak laku terpaksa ia bawa pulang. Sebagian ditawarkan kepada tetangga dengan harga seadanya, sisanya masuk freezer. “Kalau nggak ada yang beli, ya disimpan di kulkas. Tapi kan jadi tambah repot, ongkos listrik juga naik,” ujar Eris, yang sudah lebih dari sepuluh tahun berjualan ayam.

Kondisi serupa dialami Maman, pedagang telur ayam di pasar yang sama. Ia mengatakan harga telur kini tembus Rp30 ribu per kilogram dari sebelumnya Rp26 ribu.

“Sekarang ada yang Rp30 ribu, ada yang Rp29 ribu. Naiknya karena permintaan tinggi, tapi tetap saja orang jadi mikir dua kali buat beli,” ungkapnya.

Bagi Maman, kenaikan harga ini justru menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, pedagang terlihat mendapatkan keuntungan lebih. Namun di sisi lain, volume penjualan menurun drastis.

“Untung per kilo naik, tapi yang beli makin sedikit. Jadi sama aja berat,” tambahnya.

Keluhan pedagang ini diamini oleh sejumlah pembeli. Yayah (43), seorang ibu rumah tangga warga Singaparna, mengaku kini harus cermat menghitung belanja dapur. “Biasanya beli setengah kilo telur seminggu dua kali, sekarang jadi sekali aja. Anak-anak jadi jarang makan telur,” tuturnya.

Lihat Juga :  Rusia-Korsel Mulai Memburuk, Yoon Minta Putin Evaluasi Kerjasama dengan Kim Jong Un

Menurutnya, harga ayam dan telur yang terus merangkak naik membuat banyak ibu rumah tangga harus memutar otak. “Mau nggak mau lauk diganti tahu tempe, kalau dipaksain beli ayam bisa jebol pengeluaran bulanan,” ujarnya.

Lihat Juga :  Dinas Kesehatan Kabupaten Tasik Gelar Evakuasi dan Rujuk Massal Pasien Jiwa Berat

Kondisi ini mendapat perhatian dari pengamat ekonomi daerah, Dedi Supriatna. Ia menilai persoalan ini bukan sekadar fluktuasi harga biasa, melainkan cerminan lemahnya daya beli masyarakat.

“Harga naik memang bisa dipengaruhi faktor permintaan, distribusi, atau pakan. Tapi yang lebih berbahaya adalah daya beli masyarakat stagnan bahkan turun. Itu yang membuat pedagang kecil makin sulit berputar modal,” kata Dedi.

Ia menambahkan, pemerintah daerah harus segera hadir dengan langkah konkret, bukan hanya memantau. “Operasi pasar, subsidi harga pakan, atau bantuan langsung bagi pedagang kecil bisa jadi solusi. Kalau dibiarkan, pasar tradisional bisa mati perlahan karena pedagang tak kuat bertahan,” ujarnya.

Bagi pedagang seperti Eris dan Maman, bertahan di tengah kondisi serba sulit ini hanyalah soal waktu. Mereka masih setia membuka lapak setiap hari, berharap pembeli kembali ramai seperti dulu. Namun hingga kini, pasar lebih sering sunyi ketimbang ramai.

“Yang penting usaha dulu aja, rezeki mah urusan Gusti Allah,” ujar Eris menutup ceritanya. (yna)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos