Historia

Dua Perempuan di BPUPKI, Inspirasi Perjuangan Kesetaraan Gender di Era Kemerdekaan

Maria Ulfah (kiri) dan Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito (kanan). | Dok. ANRI & Perpusnas RI

JAKARTA | Priangan.com – Pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 April 1945 menjadi salah satu langkah penting dalam sejarah menuju kemerdekaan Indonesia.

Di tengah dinamika perjuangan tersebut, terdapat dua nama perempuan yang tercatat sebagai anggota BPUPKI, yaitu Maria Ulfah dan Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito. Keterlibatan mereka tidak hanya menunjukkan keberanian perempuan untuk terlibat dalam pembentukan negara, tetapi juga perjuangan panjang mereka dalam memperjuangkan kesetaraan gender.

Lahir pada 1907 di lingkungan Keraton Yogyakarta, Siti Sukaptinah telah menunjukkan bakat kepemimpinan sejak usia muda. Sebagai seorang guru di Taman Siswa, lembaga pendidikan yang didirikan Ki Hajar Dewantara, ia mengajarkan nilai-nilai kemandirian dan emansipasi kepada para muridnya. Keterlibatan Sukaptinah dalam organisasi pergerakan perempuan dimulai setelah Kongres Perempuan Indonesia I pada Desember 1928.

Sukaptinah tidak hanya aktif dalam diskusi, tetapi juga menuangkan pemikirannya melalui tulisan. Artikel-artikelnya, yang banyak diterbitkan dalam surat kabar “Istri Indonesia,” membahas isu-isu penting seperti pernikahan dalam hukum Islam, hak pilih perempuan, dan protes terhadap diskriminasi dalam Dewan Rakyat.

Kepeduliannya terhadap representasi perempuan Indonesia terus berlanjut hingga ia ditunjuk menjadi anggota BPUPKI. Dalam sidang BPUPKI, Sukaptinah tergabung dalam panitia ketiga yang membahas isu pembinaan tanah air, sebuah bidang strategis yang menunjukkan kepercayaan besar terhadap kompetensinya.

Sementara Maria Ulfah, lahir pada 1911 di Serang, Banten, adalah tokoh perempuan yang mencatat sejarah sebagai sarjana hukum perempuan pertama di Indonesia. Sebagai putri seorang Bupati Kuningan, ia memiliki akses pendidikan yang baik, hingga akhirnya menempuh studi di Universitas Leiden, Belanda.

Di sana, ia berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Haji Agus Salim, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir. Pergaulan dengan mereka mengasah pemikiran kritis Maria Ulfah, terutama dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.

Tonton Juga :  Sejarah Konferensi Meja Bundar, Titik Balik Kedaulatan Indonesia

Sekembalinya ke Indonesia pada 1933, Maria Ulfah tidak hanya berpraktik hukum, tetapi juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Ia terlibat dalam Kongres Perempuan Indonesia II pada 1935 dan mendirikan Biro Konsultasi untuk membantu perempuan yang menghadapi kesulitan dalam perkawinan. Aktivitas ini menunjukkan dedikasinya untuk memberdayakan perempuan secara hukum dan sosial.

Di BPUPKI, Maria Ulfah tergabung dalam panitia pertama yang membahas perumusan UUD. Ia mengusulkan pentingnya pencantuman hak-hak dasar dalam UUD, termasuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Usulan ini menjadi dasar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan kesetaraan warga negara di hadapan hukum.

Penunjukan Maria Ulfah dan Siti Sukaptinah sebagai anggota BPUPKI bukanlah kebetulan. Mereka adalah representasi dari perempuan Indonesia yang telah lama berjuang melawan ketidakadilan gender. Melalui tulisan, organisasi, dan peran aktif di lembaga formal, keduanya menunjukkan bahwa perjuangan perempuan tidak hanya berkisar pada isu domestik, tetapi juga pada isu kenegaraan.

Setelah proklamasi kemerdekaan, baik Maria Ulfah maupun Siti Sukaptinah terus melanjutkan perjuangan mereka. Maria Ulfah menjadi Menteri Sosial perempuan pertama di Indonesia, sementara Siti Sukaptinah tetap aktif dalam berbagai kegiatan yang mendukung pendidikan dan hak-hak perempuan.

Jejak Maria Ulfah dan Siti Sukaptinah adalah bukti bahwa perempuan memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara. Keberanian dan dedikasi mereka memberikan inspirasi bagi generasi berikutnya untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender. Dalam catatan sejarah, nama mereka bukan hanya simbol perjuangan perempuan, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari fondasi bangsa yang kita nikmati hari ini.(mth)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: