Oleh: Asep Chahyanto, Pengamat Sosial Politik
DALAM beberapa tahun terakhir, kepercayaan publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) terus mengalami erosi. Survei berbagai lembaga menunjukkan DPR berada di posisi rendah dalam indeks kepercayaan publik.
Kasus pelanggaran etika, kontroversi pembahasan undang-undang, hingga gaya hidup anggota DPR yang kerap dipersepsikan jauh dari rakyat, memperkuat pandangan negatif ini. Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah DPR benar-benar menjalankan fungsi sebagai wakil rakyat, atau terjebak dalam pusaran kepentingan politik jangka pendek?
Di tengah situasi ini, kita perlu belajar dari negara lain yang mampu menjaga kepercayaan publik terhadap institusi perwakilan. Swedia, dengan Riksdag-nya, adalah contoh menarik. Dengan jumlah anggota lebih sedikit, fasilitas sederhana, namun fungsi pengawasan kuat, parlemen Swedia berhasil membangun citra sebagai wakil rakyat yang benar-benar bekerja untuk rakyat.
Tugas dan Fungsi: DPR RI vs Riksdag
Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014, DPR RI memiliki tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPR juga diberi hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Secara normatif, DPR adalah lembaga kunci dalam menjaga keseimbangan kekuasaan.
Di Swedia, Riksdag memiliki fungsi serupa, yakni: membuat undang-undang, menetapkan anggaran, serta mengawasi pemerintah. Namun, pengawasan dijalankan melalui Committee on the Constitution dan lembaga Ombudsman, yang memungkinkan rakyat melaporkan langsung pelanggaran pejabat publik. Mekanisme ini berjalan independen dan efektif.
Secara formal, fungsi keduanya mirip, tetapi perbedaan muncul pada praktik transparansi dan efektivitas.
Gaji dan Fasilitas
Salah satu sumber krisis kepercayaan di Indonesia terletak pada fasilitas DPR. Anggota DPR memang hanya bergaji pokok sekitar Rp4,2 juta, tetapi ditambah berbagai tunjangan, seperti: tunjangan beras, tunjangan bensin. Anggota DPR juga mendapat tunjangan rumah sebesar 50 juta per bulan, sehingga pendapatan resmi mereka lebih dari Rp.100 juta per bulan. Di luar itu, ada dana reses ratusan juta per tahun, bahkan ada media yang melaporkan sampai milyar rupiah; serta jaminan kesehatan dan pensiun.
Bandingkan dengan Swedia. Anggota Riksdag bergaji sekitar 71.500 krona (±Rp105 juta), angka yang wajar dalam konteks biaya hidup di Swedia. Namun fasilitasnya sederhana. Tidak ada mobil dinas, hanya apartemen kecil di Stockholm untuk anggota dari luar kota, transportasi umum gratis, dan perjalanan dinas yang ketat pertanggungjawabannya. Transparansi pengeluaran menjadi kunci, karena seluruh data gaji dan biaya parlemen dapat diakses publik secara daring.
Refleksi untuk Indonesia
Krisis kepercayaan terhadap DPR tidak bisa hanya dijawab dengan retorika, tetapi dengan perubahan nyata. Swedia memberi pelajaran bahwa kesederhanaan fasilitas justru memperkuat legitimasi. Transparansi keuangan dan pengawasan independen juga penting agar rakyat merasa suaranya benar-benar dijaga.
Indonesia tidak harus menyalin mentah-mentah model Swedia. Namun esensi yang bisa dipetik sangatlah jelas, bahwa parlemen yang dipercaya lahir dari kedekatan dengan rakyat, keterbukaan informasi, dan akuntabilitas. Jika DPR RI berani menempuh jalur ini, demokrasi Indonesia bisa keluar dari krisis kepercayaan, dan DPR kembali menjadi rumah rakyat, bukan sekadar simbol politik.
Penutup
Demokrasi sejati bukan hanya prosedur lima tahunan, tetapi soal bagaimana wakil rakyat menjaga martabat dan amanah setiap hari. Swedia menunjukkan bahwa kesederhanaan bisa sejalan dengan kekuatan politik, dan transparansi melahirkan kepercayaan. Kini, pertanyaannya, apakah DPR RI siap belajar dan berbenah, atau membiarkan jurang ketidakpercayaan semakin dalam? (*)