TASIKMALAYA | Priangan.com – Penutupan tambang emas ilegal di Karangjaya oleh Polres Tasikmalaya Kota rupanya membuka persoalan yang lebih besar: kegagalan negara memastikan bahwa Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) benar-benar menjadi ruang ekonomi milik masyarakat.
Sorotan ini disampaikan Anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Aldira Yusup, yang menyebut bahwa operasi penertiban tambang justru menguak betapa timpangnya pengelolaan emas di Cineam dan Karangjaya selama ini.
Aldira menilai penutupan tambang yang dilakukan aparat penegak hukum belum menyentuh keseluruhan titik, sehingga masyarakat di lapangan merasakan adanya perlakuan berbeda.
“Penutupan itu baik, tapi tidak tuntas. Banyak lokasi pertambangan yang masih beroperasi. Muncul kesan tebang pilih yang membuat masyarakat bertanya-tanya,” ujar Aldira kepada wartawan, Selasa (2/12/2025).
Lebih dari soal penertiban, ia menggarisbawahi masalah utama: pertambangan rakyat yang tak lagi berpihak pada rakyat.
Menurutnya, alih-alih menciptakan kesejahteraan, WPR justru dikuasai modal besar yang mempekerjakan warga sebagai buruh tambang berupah minim.
“Pertambangan emas di Cineam dan Karangjaya sudah tidak sehat. Banyak dimonopoli pengusaha besar, sementara masyarakat hanya jadi penambang dengan penghasilan sangat kecil,” tegasnya.
Padahal, kedua wilayah itu telah ditetapkan sebagai WPR sejak beberapa tahun lalu—status yang semestinya memberi ruang legal dan ekonomi bagi warga untuk mengelola sumber daya mereka sendiri.
“Potensi alam ini harus menjadi sumber kesejahteraan rakyat, bukan memperkaya sedikit orang saja,” kata Aldira.
Ia menyebut kondisi para penambang masih jauh dari layak: bekerja dengan peralatan seadanya, tidak terlindungi, dan tidak memiliki posisi tawar terhadap pengusaha yang menguasai lubang-lubang tambang.
“Saya melihat langsung kondisi mereka. Sangat terbatas kesejahteraannya. WPR seharusnya menjawab persoalan ini, membuat masyarakat Cineam dan Karangjaya benar-benar maju,” ujarnya.
Aldira menegaskan bahwa konsep pertambangan rakyat seharusnya berpijak pada prinsip dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat—bukan dikuasai jaringan modal yang membungkus praktiknya dengan nama WPR.
“Pertambangan rakyat itu harus betul-betul dikelola oleh rakyat. Jangan dimonopoli segelintir orang,” tandasnya.
Ia berharap pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum dan pemangku kebijakan lainnya bersinergi menata ulang regulasi WPR, memastikan pengelolaan tambang berlangsung transparan, berkeadilan, dan memberi dampak langsung pada peningkatan ekonomi masyarakat sekitar. (yna)

















