PANGANDARAN | Priangan.com – Kekerasan terhadap petani kembali terjadi, kali ini dengan cara-cara brutal yang diduga melibatkan preman bayaran. PT Panca Makmur Bersama (PMB), sebuah perusahaan yang mengklaim memiliki hak atas lahan di Desa Wonoharjo, Kecamatan Pangandaran, dituding menggunakan jasa preman untuk mengusir petani yang telah puluhan tahun menetap dan menggarap tanah di kawasan tersebut.
Peristiwa menggemparkan ini terjadi pada Jumat, 13 Juni 2025. Sekitar 40 orang yang terdiri dari petugas keamanan dan orang suruhan perusahaan, mendatangi lahan petani di Blok Padasuka.
Alih-alih melakukan mediasi atau menunjukkan legalitas penguasaan lahan, mereka langsung melakukan pembongkaran rumah dan penganiayaan terhadap warga.
Salah satu korban adalah Engkos, petani anggota Serikat Petani Pasundan (SPP) Pangandaran. Ia dikeroyok hingga mengalami luka-luka, sementara rumahnya dihancurkan di depan mata warga. Petani lain yang mencoba menghentikan aksi kekerasan itu pun turut menjadi korban pemukulan.
“Kami yakin mereka itu preman bayaran, bukan aparat atau tenaga keamanan resmi. Mereka datang tanpa surat, tanpa dialog, hanya membawa kekerasan,” kata Yosef Nurhidayat, Dewan Pimpinan Harian SPP Pangandaran dalam keterangan tertulisnya, Minggu (15/6/2025).
Menurut SPP, pola kekerasan semacam ini bukan baru pertama kali terjadi. Sejak 2018, sudah 11 rumah petani dihancurkan dalam situasi yang sama. Dugaan penggunaan preman bayaran oleh perusahaan pun semakin menguat, terutama karena aksi-aksi itu berlangsung tanpa dasar hukum yang sah.
“Ini bukan sekadar konflik agraria. Ini praktik premanisme yang dilegalkan oleh kekuasaan modal. Para petani yang telah menggarap tanah sejak lebih dari 30 tahun lalu, kini diusir seperti penjahat,” ujar Yosef.
Tanah yang disengketakan awalnya merupakan HGU milik PTPN Batulawang yang habis masa berlakunya pada 1997. Tanpa proses pengembalian kepada negara, tanah itu malah beralih menjadi HGB milik PT Startrust, yang kemudian diagunkan ke PT PMB. Sementara itu, puluhan petani telah lama mengolah lahan tersebut secara produktif.
Seemntara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat turut mengecam keras aksi kekerasan ini. Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Wahyudin, menilai penggunaan preman dalam konflik agraria sebagai bentuk nyata dari premanisme korporasi.
“Ini jelas pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM. Negara seharusnya melindungi petani, bukan memberi ruang bagi perusahaan untuk menyewa preman,” katanya.
Ia juga mempertanyakan perpindahan status tanah dari HGU ke HGB tanpa proses yang transparan.
Walhi menuntut Kementerian ATR/BPN untuk mencabut izin HGB PT PMB dan segera menyelesaikan konflik agraria di lokasi tersebut. Selain itu, Walhi mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas aktor di balik pengeroyokan dan pengrusakan rumah petani. (yna)