TIONGKOK | Priangan.com – Dalam perjalanan panjang sejarah Tiongkok, Dinasti Tang menempati posisi penting sebagai salah satu kekuasaan yang membentuk wajah politik, budaya, dan peradaban Asia Timur. Dinasti ini lahir dari situasi politik yang tidak stabil setelah runtuhnya Dinasti Sui, ketika kekuasaan pusat melemah dan berbagai pemberontakan merebak di sejumlah wilayah.
Dari kondisi itulah muncul Li Yuan, seorang jenderal militer yang berhasil merebut kendali pemerintahan dan pada 618 Masehi mendirikan Dinasti Tang dengan ibu kota di Chang’an, kota yang kemudian tumbuh menjadi pusat kekuasaan dan kebudayaan terbesar pada masanya.
Pada masa awal berdirinya, pemerintahan Tang berupaya memulihkan stabilitas negara melalui pembenahan administrasi dan penataan ulang sistem pemerintahan. Struktur birokrasi diperkuat dengan sistem ujian kenegaraan untuk menjaring pejabat berdasarkan kemampuan dan pengetahuan, bukan semata latar belakang keluarga.
Langkah ini membuat pemerintahan lebih terorganisasi dan memberi ruang bagi lahirnya kelas pejabat terdidik yang menjadi tulang punggung negara. Di bawah kepemimpinan kaisar-kaisar awal, wilayah kekuasaan Tang meluas hingga Asia Tengah, memperkuat posisi Tiongkok sebagai kekuatan besar di kawasan.
Masa kejayaan Dinasti Tang mencapai puncaknya pada abad ke-7 hingga awal abad ke-8. Pada periode ini, Chang’an berkembang sebagai kota kosmopolitan yang menampung pedagang, cendekiawan, dan utusan dari berbagai penjuru dunia. Jalur Sutra menjadi urat nadi perdagangan yang menghubungkan Tiongkok dengan Asia Barat, India, hingga Eropa.
Pertukaran barang, gagasan, dan budaya berlangsung intens, menciptakan kehidupan sosial yang dinamis dan terbuka terhadap pengaruh luar. Seni, sastra, dan pemikiran berkembang pesat, dengan puisi Tang kemudian diakui sebagai salah satu capaian tertinggi dalam sejarah sastra Tiongkok.
Kepemimpinan Kaisar Taizong menjadi salah satu fondasi penting kejayaan tersebut. Pemerintahannya dikenal mampu menjaga keseimbangan antara kekuatan militer dan tata kelola sipil, sehingga stabilitas politik dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama.
Pada masa Dinasti Tang pula, muncul figur Wu Zetian yang sempat mengambil alih kekuasaan dan menjadi satu-satunya kaisar perempuan dalam sejarah Tiongkok. Meski periode pemerintahannya memunculkan dinamika tersendiri, roda pemerintahan Tang tetap berjalan dan kembali dipulihkan setelahnya.
Memasuki pertengahan abad ke-8, tanda-tanda kemunduran mulai terlihat. Pemberontakan An Lushan mengguncang fondasi kekaisaran dan menimbulkan kerusakan luas, baik secara ekonomi maupun politik. Kekuasaan pusat melemah seiring meningkatnya peran panglima militer daerah yang semakin mandiri. Kondisi ini diperparah oleh konflik internal, krisis keuangan, dan pemberontakan lanjutan yang menggerus wibawa pemerintah di mata rakyat.
Pada akhir abad ke-9, Dinasti Tang berada dalam kondisi rapuh. Kekuasaan kaisar semakin simbolis, sementara kendali nyata berada di tangan para penguasa militer regional. Situasi tersebut berujung pada runtuhnya dinasti pada 907 Masehi, ketika kaisar terakhir dilengserkan dan Tiongkok memasuki masa perpecahan yang dikenal sebagai periode Lima Dinasti dan Sepuluh Kerajaan.
Meski berakhir dalam situasi krisis, warisan Dinasti Tang tetap membekas kuat dalam sejarah. Sistem pemerintahan, tradisi birokrasi, serta pencapaian budaya dan intelektualnya menjadi rujukan bagi dinasti-dinasti berikutnya. (wrd)

















