Dinamika Agraria Banten dari Hegemoni Kesultanan Hingga Jerat Kolonialisme

BANTEN | Priangan.com – Di balik hamparan sawah yang menghijau dan irama musim tanam yang teratur, tersimpan kisah panjang mengenai dinamika sosial dan politik di pedesaan Banten pada masa lalu. Banten bukan sekadar wilayah yang kaya akan hasil bumi, tetapi juga cermin dari sistem kekuasaan yang tertanam kuat dalam struktur agraria tradisional.

Di desa-desa, kehidupan masyarakat sangat bergantung pada tanah. Perekonomian berjalan seiring dengan irama alam, dan hampir seluruh penduduk menggantungkan hidupnya pada pertanian, terutama sebagai petani padi.

Sebagian dari mereka memiliki lahan sendiri, sementara yang lain menjadi penggarap dengan sistem bagi hasil. Tanah-tanah yang digarap bukan hanya milik pribadi, melainkan juga mencakup sawah milik negara atau sultan. Para petani penggarap sawah negara ini terbagi dalam dua kelompok utama. Pertama, petani mardika, yaitu orang-orang yang memperoleh status merdeka setelah menyatakan tunduk kepada penguasa dan memeluk agama Islam. Kedua, kaum abdi atau budak, yakni mereka yang ditaklukkan melalui kekerasan dan dipaksa bekerja di lahan pertanian tanpa kebebasan.

Sawah negara merupakan lahan yang dibuka atas perintah langsung dari sultan atau kerabatnya, dan dengan demikian menjadi milik pribadi mereka. Namun, agar lahan itu dapat menghasilkan, sultan memberikan hak penggunaan tanah kepada para petani. Sebagai imbalannya, mereka wajib membayar upeti kepada sultan berupa sepersepuluh dari hasil panen dan turut serta dalam kerja bakti.

Sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam bukunya “Pemberontakan Petani Banten 1888” yang terbit pada 1984 menjelaskan bahwa hak atas penggunaan tanah itu bukan hanya sekadar bentuk penghargaan, tetapi juga alat kontrol sosial-politik. Melalui sistem ini, sultan memegang kendali atas perekonomian dan masyarakat. Hal ini mencerminkan praktik umum yang terjadi di banyak kerajaan agraris, di mana tanah menjadi alat pengikat loyalitas. Lahan pertanian dianugerahkan kepada pengiring pribadi raja, termasuk pejabat istana, kerabat dekat, dan orang-orang kepercayaan. Tanah-tanah tersebut dikenal sebagai sawah ganjaran, pusaka laden, atau pecaton.

Lihat Juga :  Akhir Tragis Sang Pahlawan Legendaris Yunani: Achilles

Tanah pusaka laden, khususnya yang diberikan kepada anggota keluarga sultan, bersifat turun-temurun dan tidak dapat dipindahtangankan tanpa persetujuan sultan. Ini memperkuat status sosial dan kekuasaan pemiliknya dalam sistem yang hirarkis.

Lihat Juga :  Misteri di Balik Tersebarnya Pelat Gutta-Percha Tjipetir

Namun, semuanya berubah saat pemerintahan kolonial Hindia Belanda mulai mencampuri urusan agraria lokal. Pada 1808, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels menghapuskan kepemilikan tanah oleh sultan dan mencabut kewajiban kerja bakti yang sebelumnya diwajibkan kepada penggarap. Pemerintah kolonial juga mulai memungut pajak tanah sebesar seperlima dari hasil panen di daerah dataran rendah Banten.

Transformasi sistem ini berlanjut pada masa kepemimpinan Thomas Stamford Raffles. Ia menerapkan sistem sewa tanah sebagai bentuk tunggal pajak tanah. Walaupun pemegang hak atas tanah pusaka memperoleh ganti rugi atas hilangnya pendapatan dari upeti dan kerja bakti, serta pemilik sawah yasa tetap berhak atas pakukusut mereka, sistem baru ini membuka ruang lebar bagi penyalahgunaan wewenang.

Dalam perjalanannya, hak-hak atas tanah yang diwariskan secara turun-temurun, baik berupa pusaka, pecaton, maupun yasa, dan justru menjadi sumber korupsi di kalangan pejabat lokal. Ketamakan dan kezaliman tumbuh subur, menciptakan ketegangan di tengah masyarakat. Sementara itu, para kerabat sultan dan pejabat lama yang sebelumnya menikmati keuntungan dari sistem tradisional mulai mendambakan kembalinya tatanan lama yang menguntungkan mereka.

Ketidakadilan yang meluas dan praktik sewenang-wenang dari penguasa kolonial maupun elit lokal inilah yang memicu gejolak sosial dan pemberontakan di berbagai wilayah Banten, terutama menjelang tahun 1830. Di tengah perubahan yang mengguncang tatanan lama, suara rakyat kecil yang tertindas mulai menggema sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang tidak lagi memihak mereka. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos