JAKARTA | Priangan.com – Hari Kebangkitan Nasional, bagi bangsa Indonesia bukan sekadar penanda sejarah, melainkan simbol lahirnya kesadaran kolektif akan pentingnya persatuan dan kemajuan bangsa. Di balik makna besar itu, tersimpan kisah perjuangan sekelompok anak muda pribumi terpelajar yang berjuang bukan dengan senjata, melainkan dengan ilmu pengetahuan. Mereka adalah para calon dokter dari Sekolah Dokter Djawa, cikal bakal dari STOVIA yang kelak melahirkan organisasi modern pertama di Hindia Belanda, Boedi Oetomo.
Perjalanan panjang Sekolah Dokter Djawa dimulai pada Januari 1851. Sekolah ini didirikan di Rumah Sakit Militer Weltevreden, kawasan yang kini meliputi wilayah Jakarta Pusat. Tujuannya adalah melatih pemuda pribumi agar mampu memberikan pelayanan medis dasar, terutama bagi masyarakat lokal yang kurang terjangkau tenaga medis Eropa.
Namun, di balik niat baik itu, terdapat tantangan besar dalam pelaksanaannya.
Di masa awal, usia siswa yang diterima berkisar antara 14 hingga 18 tahun. Namun, pada 1878, usia itu diturunkan menjadi 12–14 tahun dengan alasan pedagogis, anak yang lebih muda dinilai lebih cepat belajar bahasa Belanda, bahasa resmi yang mulai diwajibkan dalam kurikulum.
Bahkan pada 1885, aturan diperketat. Para siswa wajib berbicara dalam bahasa Belanda di luar jam pelajaran. Pemerintah kolonial juga hanya mengizinkan mereka yang telah fasih membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Belanda untuk masuk. Akibatnya, peluang belajar semakin terbatas.
Kebanyakan dari mereka yang lolos seleksi adalah lulusan Europeesche Lagere School (ELS), sekolah menengah bergengsi yang biayanya hanya terjangkau oleh anak-anak dari keluarga bangsawan atau elite pribumi, terutama di Jawa.
Ketika pihak sekolah memprioritaskan lulusan ELS, jumlah siswa menurun drastis. Menyadari hal itu, pada 1891 pemerintah membuka akses baru. Delapan anak laki-laki yang berminat menjadi dokter Djawa diizinkan mengikuti ELS secara gratis. Kebijakan ini menjadi angin segar bagi siswa dari kalangan tidak mampu.
Pada tahun-tahun berikutnya, seleksi calon siswa diperluas hingga ke luar Jawa, termasuk ke Madura. Kapasitas penerimaan pun meningkat dari semula 30 orang menjadi 80 orang pada tahun 1900.
Di sisi lain, proses pendidikan semakin menekankan praktik lapangan. Klinik rawat jalan dibuka pada 1890, di mana siswa belajar melakukan operasi ringan dan mengobati penyakit mata. Setahun kemudian, pelatihan penyakit dalam turut dimasukkan ke dalam kurikulum.
Tahun 1901 menjadi titik balik penting ketika kebijakan Politik Etis mulai diterapkan. Setahun kemudian, Sekolah Dokter Djawa berubah nama menjadi STOVIA. Dari sinilah lahir para mahasiswa yang kelak tidak hanya menjadi tenaga medis, tetapi juga tokoh intelektual dan penggerak perubahan. Mereka hidup dalam keterbatasan, namun memiliki semangat besar untuk membawa bangsanya menuju kemajuan.
Di lingkungan sekolah, para siswa tetap mengenakan pakaian tradisional sesuai daerah asal. Mereka memakai kain, jas hitam berkerah tinggi, dan dasi hitam. Sebagai identitas resmi, mereka diwajibkan mengenakan topi bernomor berlambang esculapap atau ular kuning melingkar yang menjadi lambang dunia medis. Topi itu membedakan mereka dari masyarakat umum. Bagi sebagian siswa, itu adalah lambang kebanggaan.
Namun, bagi yang lain, itu justru menjadi beban, karena membuat mereka mudah dikenali dan diawasi di mana pun berada.
Sayangnya, kehidupan sebagai calon dokter tidak selalu gemilang. Tunjangan mereka jauh dari cukup. Pada 1864, seorang dokter Djawa hanya menerima gaji 30 gulden per bulan, jumlah yang setara dengan guru saat itu. Bahkan setelah dua dekade mengabdi, gajinya hanya meningkat menjadi 90 gulden. Padahal, tanggung jawab mereka sangat besar, terutama dalam menangani wabah penyakit yang sering melanda Hindia Belanda.
Kondisi itulah yang perlahan memupuk kesadaran kritis di kalangan siswa. Mereka mulai menulis, berdiskusi, dan membentuk jaringan pemikiran. Dari ruang kelas yang sempit dan asrama yang sederhana, lahirlah benih-benih nasionalisme.
Pada 20 Mei 1908, para mahasiswa STOVIA mendirikan Boedi Oetomo, organisasi modern pertama yang mengedepankan persatuan, pendidikan, dan kemajuan bangsa.
Kini, setiap kali kita mengenang Hari Kebangkitan Nasional, kita sepatutnya juga mengingat peran besar para pelajar Sekolah Dokter Djawa dan STOVIA. Mereka tidak hanya belajar menyembuhkan tubuh, tetapi juga membangkitkan semangat kebangsaan di tengah belenggu kolonialisme. Dari ruang kuliah kedokteran itulah, harapan tentang Indonesia merdeka mulai ditulis dalam hati dan pikiran generasi pertama kaum terpelajar pribumi. (LSA)