TASIKMALAYA | Priangan.com – Sekolah swasta di Kota Tasikmalaya kini berada di ujung tanduk. Deretan ruang kelas kosong, jumlah siswa yang menurun drastis, dan bangunan yang perlahan terbengkalai menjadi potret muram pendidikan swasta akibat kebijakan pendidikan yang dinilai berat sebelah.
Salah satu yang tengah terseok adalah SMK Yapsipa, sekolah yang pernah menampung ratusan siswa dalam masa kejayaannya. Namun kini, hingga pertengahan Juli 2025, sekolah ini hanya menerima 32 calon siswa baru—jumlah yang sangat jauh dari harapan.
“Padahal kami sudah buka pendaftaran sejak Desember 2024. Tapi sampai sekarang baru 32 orang yang daftar,” ujar Muhammad Syihabudin Riyadi, operator SMK Yapsipa, kepada Priangan.com, Rabu (16/7/2025).
Syihabudin menyebut, penyebab utama lesunya minat calon siswa adalah kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengizinkan sekolah negeri menampung hingga 50 siswa dalam satu rombongan belajar. Kebijakan ini, kata dia, secara langsung mematikan peluang sekolah swasta mendapatkan murid.
“Beberapa siswa yang sudah mendaftar ke tempat kami malah ditarik ke sekolah negeri. Alasannya untuk memenuhi kuota 50 orang per kelas. Ini sangat menyakitkan buat kami,” tegas Syihabudin.
Imbasnya, dari 12 ruang kelas yang berdiri di bangunan tiga lantai SMK Yapsipa, sebagian besar kini kosong dan tak terpakai. Aktivitas belajar mengajar pun sepi. “Kami seperti kembali ke titik nol. Masa keemasan sekolah ini hanya tinggal kenangan,” imbuhnya.
Kondisi serupa juga dialami SMA Pasundan 2 Tasikmalaya, salah satu sekolah swasta tertua yang didirikan pada 1986. Hingga pertengahan Juli 2025, sekolah ini baru mendapatkan 8 calon siswa baru, jauh dari capaian di masa lalu saat jumlah siswanya mencapai lebih dari 900 orang.
Kepala SMA Pasundan 2 Tasikmalaya, Darus Darusman, mengaku prihatin. Ia menyebut bahwa kombinasi sistem zonasi, berdirinya sekolah negeri baru, serta kebijakan terbaru gubernur mengenai pencegahan anak putus sekolah telah membuat kondisi sekolahnya semakin terpuruk.
“Dulu ada 22 kelas, semuanya terisi penuh. Sekarang hanya beberapa ruang yang terpakai. Kelas 3 cuma 23 siswa, kelas 2 ada 21, dan yang baru daftar tahun ini hanya delapan orang,” ujarnya lirih.
Dengan kondisi seperti itu, beban operasional sekolah pun terasa berat. Saat ini, SMA Pasundan 2 tetap beroperasi dengan 20 guru dan dua staf tata usaha, meski jumlah siswanya tak sampai 60 orang.
Namun di balik kepedihan itu, semangat untuk bertahan tetap menyala. Sebuah tulisan tangan di dinding sekolah menjadi penguat hati: “Pasundan Never Die.”
“Kalimat itu seperti doa. Kami tidak akan mundur dalam mencerdaskan anak bangsa,” kata Darus.
Sayangnya, tidak semua sekolah swasta bisa bertahan seperti SMA Pasundan 2. Beberapa sudah gulung tikar. SMK Periwatas, yang berdiri sejak 1974 di Jalan Jenderal Ahmad Yani, resmi menghentikan kegiatan belajar mengajar sejak 2023. Sisa siswanya dipindahkan ke sekolah lain agar bisa tetap menyelesaikan pendidikan.
Sekolah lain yang juga sudah tutup antara lain SMK Pasundan 2 Tasikmalaya dan SMA Siliwangi di Jalan Saptamarga. Gedung sekolah masih berdiri, tetapi sunyi tanpa aktivitas. Di dinding depan, visi dan misi sekolah masih terlihat—meski mulai lapuk oleh waktu.
Kini, halaman sekolah yang dulu digunakan untuk upacara, telah dialihfungsikan menjadi bangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi, dapur umum untuk program makanan bergizi gratis. (yna)