TASIKMALAYA | Priangan.com – Sebanyak 123.000 peserta penerima bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI-JKN) di Kabupaten Tasikmalaya mendadak kehilangan status kepesertaannya setelah pemerintah pusat menghapus nama-nama mereka berdasarkan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN).
Keputusan itu langsung menimbulkan kekhawatiran, terutama di kalangan warga miskin yang selama ini bergantung pada layanan kesehatan gratis.
Bupati Tasikmalaya Cecep Nurul Yakin merespons keras situasi tersebut. Ia menyebut persoalan ini bukan sekadar penonaktifan administratif, tetapi menunjukkan betapa rapuhnya kualitas data sosial yang selama ini menjadi dasar penentuan kebijakan.
Menurut Cecep, kesalahan data akan berdampak langsung pada hilangnya hak masyarakat miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
“Kita itu by data by decision. Kalau datanya rusak, kebijakannya pasti ikut rusak,” tegasnya.
Ia juga menyoroti adanya potensi manipulasi, misalnya warga mampu yang mengaku miskin atau meminta surat keterangan tidak mampu hanya ketika membutuhkan layanan kesehatan.
Cecep menegaskan bahwa praktik demikian harus dihentikan karena memperkeruh akurasi data yang seharusnya bersih dan terkini. Ia pun memerintahkan Dinas Sosial melakukan pemutakhiran data secara menyeluruh dan konkret.
Komisi IV DPRD Kabupaten Tasikmalaya turut bergerak cepat. Mereka memanggil Dinas Sosial, BPJS Kesehatan, tenaga kesejahteraan sosial kecamatan, serta pendamping PKH untuk meminta penjelasan dan memastikan upaya pemulihan hak warga berjalan tepat waktu.
Anggota Komisi IV, Ujang Sukmana, menegaskan bahwa 123.000 peserta yang dinonaktifkan harus segera dihidupkan kembali statusnya. Ia mengingatkan bahwa bila reaktivasi tidak dilakukan hingga akhir Desember 2025, status kepesertaan mereka dapat hilang secara permanen.
Ujang juga menilai respons Dinas Sosial lebih lambat dibanding daerah lain yang sejak awal telah menggerakkan relawan serta pendamping PKH untuk memeriksa ulang kondisi lapangan.
Menurutnya, lambannya proses ini diperparah oleh terbatasnya akses data yang dapat dilihat pendamping, sehingga verifikasi berjalan tidak maksimal.
Ia menilai penentu reaktivasi yang terlalu fokus pada diagnosa penyakit menyebabkan warga miskin tanpa riwayat medis tertentu berpotensi luput dari perhatian, padahal secara ekonomi mereka jelas membutuhkan bantuan.
Desakan untuk menyinkronkan data pusat dan data riil lapangan kembali mencuat. DPRD meminta integrasi antara data Badan Pusat Statistik dengan temuan para pendamping agar kasus serupa tidak terus berulang. Hak dasar ratusan ribu warga miskin, kata Ujang, tidak boleh tergantung pada data yang kabur dan tidak terkontrol.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Tasikmalaya, Opan Sopian, mengungkapkan bahwa hingga saat ini baru 419 warga yang datang langsung untuk mengurus reaktivasi. Meski jumlah itu sangat kecil dibanding total peserta yang dinonaktifkan, Opan menyatakan pihaknya tetap merespons setiap warga yang terbukti miskin dan membutuhkan layanan kesehatan. Namun kondisi ini sekaligus menunjukkan masih banyak warga tidak mengetahui statusnya berubah, atau tak memiliki akses memadai untuk mengurus perbaikan data.
Kisruh penonaktifan massal ini menegaskan kembali persoalan klasik yang tak kunjung tuntas: lemahnya integrasi dan validasi data sosial. Jika proses reaktivasi gagal diselesaikan sesuai batas waktu, Kabupaten Tasikmalaya terancam menyaksikan 123.000 warganya kehilangan hak kesehatan secara permanen, sebuah risiko besar yang hingga kini masih membayangi. (yna)

















