Dari Propaganda Menjadi Lelucon: Kisah ‘Himne Kebencian’ yang Gagal Menebar Kebencian

NEW YORK | Priangan.com – Memang unik bagaimana seni bisa digunakan sebagai senjata dalam peperangan. Di Perang Dunia I, sebuah lagu bernama ‘Himne Kebencian’ atau dalam bahasa Jerman disebut Haßgesang’, dimaksudkan untuk membangkitkan kebencian terhadap Inggris.

Lagu ini ditulis oleh Ernst Lissauer, seorang penulis yang menganggap dirinya nasionalis Jerman. Ia berharap lagu ini bisa memicu permusuhan terhadap Inggris, dan bahkan menciptakan frasa “Gott strafe England!” yang berarti “Semoga Tuhan menghukum Inggris!” Frasa ini kemudian menjadi slogan populer di Jerman selama perang.

Lagu ini begitu populer hingga Kaisar Wilhelm II memberikan penghargaan Order of the Red Eagle kepada Lissauer pada tahun 1915. Lagu tersebut kemudian disebarkan luas di Jerman, diajarkan di sekolah-sekolah, dan dinyanyikan di konser-konser. Putra Mahkota Rupprecht pun membagikan pamflet lagu ini kepada pasukan Bavaria, berharap bisa meningkatkan semangat juang di Front Barat.

Namun, yang tak terduga adalah reaksi orang Inggris terhadap lagu ini. Alih-alih merasa terancam, mereka justru menganggap lagu tersebut lucu. Lirik yang keras dan penuh kebencian dianggap sebagai bahan tertawaan.

Pada tahun 1915, Royal College of Music di London bahkan membawakan lagu ini sebagai lelucon. Para penyanyi diminta untuk bernyanyi dengan penuh geraman yang justru semakin membuat orang tertawa.

Di kalangan tentara Inggris, lagu ini juga menjadi bahan parodi. Seorang prajurit di Front Barat menulis versi parodinya yang disebut “The Tommy’s Song of Hate”. Lagu ini menggambarkan seorang prajurit Prusia yang mencuri puding dari prajurit Inggris. Bahkan penyanyi Inggris, Tom Clare, membuat parodi berjudul “My Cheery Little Hymn of Hate,” yang menggambarkan berbagai situasi lucu.

Sementara itu, di Jerman, beberapa kalangan mulai mengkritik Lissauer. Lagu yang sangat populer itu jadi dianggap ‘tidak Jermanik’ oleh beberapa kelompok nasionalis. Meskipun begitu, lagu ini tetap menjadi bagian dari propaganda kebencian yang dipromosikan oleh pemerintah Jerman.

Lihat Juga :  Ketegangan dan Pertumpahan Darah Hanya Karena Telur di California

Setelah perang, Lissauer, yang semakin terasingkan, pindah ke Austria. Ia meninggal pada tahun 1937, dan sebelum meninggal, ia berharap ‘Himne Kebencian’ tidak diterbitkan lagi.

Lihat Juga :  Mengenang Peristiwa 13 Februari 1945, Ketika Inggris & AS Bombardir Jerman

Meski Lissauer ingin melupakan karyanya, lagu itu tetap tercatat dalam sejarah. Sebuah lagu yang dimaksudkan untuk membangkitkan kebencian malah berubah menjadi bahan lelucon. Ironisnya, lagu itu menjadi simbol kegagalan dari propaganda yang ia ciptakan. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos