Historia

Dari Lam Padang Berakhir di Sumedang; Gigih Perjuangan Cut Nyak Dhien untuk Kemerdekaan Indonesia

Kondisi Cut Nyak Dhien (tengah) saat dalam masa pengasingan di Sumedang | Foto: Net

ACEH | Priangan.com – Pada masa penjajahan, ada satu perempuan yang ditakuti Belanda. Perempuan itu terkenal gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Ia selalu siap menumpahkan darah dan mengorbankan jiwanya hanya untuk mewujudkan cita-cita bangsa: merdeka.

Adalah Cut Nyak Dhien, seorang perempuan dari kalangan bangsawan Aceh yang dikenal sebagai salah satu pejuang paling berani dan tangguh dalam sejarah perlawanan masyarakat Aceh terhadap kolonial Belanda.

Lahir dari keluarga terpandang, tak hanya membuatnya mewarisi darah bangsawan, tetapi juga punya semangat juang yang sangat luar biasa. Keberaniannya dalam memimpin perlawanan membuat namanya seringkali disebut-sebut oleh pasukan kolonial. Ia pun cukup disegani dan ditakuti kala itu.

Cut Nyak Dhien, lahir di Lam Padang, Aceh Besar, pada tanggal 12 Mei 1848. Sejak muda, ia telah menunjukkan kepedulian yang besar terhadap nasib bangsa ini. Tepat pasca kematian suaminya, Teuku Ibrahim Langa, yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada 29 Juni 1878, Cut Nyak Dhien yang kala itu masih berusia 27 tahun bersumpah untuk berjuang hingga titik darah penghabisan. Sejak saat itu, ia pun mulai terjun ke medan pertempuran. Mengambil alih peran suaminya dan memimpin berbagai perlawanan.

Selama bertempur, Cut Nyak Dhien bertemu dengan berbagai pejuang lain, salah satunya adalah Teuku Umar. Dari pertemuan itu, mereka berdua memutuskan untuk menikah pada tahun 1880. Meski demikian, perjuangan Cut Nyak Dhien untuk membebaskan NKRI dari belenggu penjajahan tak lantas terhenti begitu saja, ia bersama suami keduanya ini tetap berjuang di medan pertempuran.

Salah satu strategi paling cerdik yang pernah mereka terapkan adalah taktik mengelabui musuh. Teuku Umar, kala itu berpura-pura menyerah dan tunduk kepada Belanda untuk mendapatkan persenjataan mereka. Setelah berhasil mendapatkan kepercayaan dan persenjataan dari Belanda, Teuku Umar bersama pasukan Cut Nyak Dhien pun kembali melakukan perlawanan.

Tonton Juga :  Wisma Yaso; Bangunan Bersejarah yang Jadi Tempat Terakhir Presiden Soekarno

Pengkhianatan Teuku Umar terhadap kolonial ini tentu saja membuat Belanda marah. Mereka pada saat itu langsung melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Meski begitu, operasi besar-besaran itu harus gagal lantaran pasukan gerilya Aceh sudah mempunyai persenjataan yang cukup untuk melawan mereka.

Tepat pada tanggal 11 Februari 1899, kabar duka kembali menyelimuti Cut Nyak Dhien. Setelah ditinggal Teuku Ibrahim, kini ia juga harus kembali ditinggalkan orang terkasihnya, Teuku Umar. Suami kedua Cut Nyak Dhien itu gugur dalam perang di Meulaboh lantaran upaya perlawanannya telah terlebih dahulu diketahui oleh musuh.

Kematian Teuku Umar tentu saja menjadi cambuk. Kendati begitu, Cut Nyak Dhien tak patah arang. Selama enam tahun sejak kematian suami keduanya, ia terus melakukan perlawanan dengan cara bergerilya dari satu tempat ke tempat lainnya, walaupun kondisi kesehatannya pada saat itu sudah mulai memburuk. Usianya yang memasuki kepala lima membuat tubuhnya mulai renta.

Perjuangan Cut Nyak Dhien baru terhenti setelah salah satu orang Panglima Perangnya, Pang Laot, berkhianat. Pada saat itu, Pang Laot memberi tahu lokasi pasukan Cut Nyak Dhien kepada Belanda. Walhasil, Cut Nyak Dhien pun berhasil ditangkap. Ia kemudian diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat pada tahun 1907.

Di kawasan pengasingan inilah, Cut Nyak Dhien menghabiskan sisa masa hidupnya sebagai tahanan politik Belanda. Hingga pada 6 November 1908, ia pun wafat lantaran faktor usia. Berkat semua perjuangannya yang telah ia berikan untuk kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1964, pemerintah pun menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Cut Nyak Dhien. (ldy)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: