TASIKMALAYA | Priangan.com – Angin efisiensi mulai berhembus di lingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya. Bukan karena keinginan, tapi karena keadaan. Setelah pemerintah pusat memangkas dana transfer daerah secara signifikan, Pemkot kini bersiap menjalani masa “puasa anggaran” — hidup hemat di tengah keterbatasan.
Pemangkasan ini bukan angka kecil. Dana Transfer ke Daerah (TKD) yang semula mencapai sekitar Rp900 miliar kini hanya tersisa Rp600 miliar lebih. Artinya, Rp219 miliar harus hilang dari kas daerah. Tekanan fiskal ini membuat hampir semua sektor terpaksa berhemat: dari belanja makan-minum, perjalanan dinas, hingga pemeliharaan kendaraan dinas.
“Kalau nanti makan-minum cuma minum saja, ya kita ikuti. Disesuaikan dengan kondisi keuangan,” ujar Sekretaris Daerah Kota Tasikmalaya, Asep Goparullah, dengan nada realistis.
Kondisi tersebut memaksa pemerintah daerah menata ulang prioritas. Tak lagi bicara proyek besar, tapi bagaimana mempertahankan pelayanan publik agar tetap berjalan tanpa membebani keuangan.
Gagasan efisiensi ini sejalan dengan konsep “Menu Puasa” yang diperkenalkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Dalam rapat paripurna di DPRD Kota Tasikmalaya pekan lalu, Dedi menegaskan bahwa “puasa” bukan berarti berhenti bekerja, melainkan menahan diri dari pemborosan birokrasi.
“Nanti tidak ada lagi snack atau makan di Pemprov. Hanya minum. Puasa itu bukan lapar, tapi menahan diri dari berlebih-lebihan — termasuk penggunaan listrik, kertas, dan fasilitas,” ujar Dedi.
Dedi bahkan memperkenalkan empat “menu sederhana” bagi ASN: membawa tumbler sendiri untuk mengurangi sampah plastik, memilih makanan rebusan sebagai simbol hidup sehat dan sederhana, mematikan AC saat tak diperlukan, serta beralih ke dokumen digital untuk mengurangi kertas.
Menanggapi hal itu, Wakil Wali Kota Tasikmalaya, Raden Diky Chandra, menyebut kebijakan efisiensi ini bukan beban, tapi peluang untuk berbenah. Menurutnya, krisis fiskal justru bisa menumbuhkan disiplin baru di tubuh birokrasi.
“Tekanan fiskal bukan akhir dari segalanya. Justru ini momen untuk memperbaiki cara kerja, hidup lebih sederhana, dan belajar bersyukur atas yang ada,” kata Diky usai menghadiri peringatan Hari Santri Nasional di Gedung Kesenian, Senin (20/10/2025).
Ia menegaskan, penghematan bukan semata soal memotong anggaran, tapi membangun budaya baru di kalangan ASN — budaya tangguh, hemat, dan peduli sosial. Diky juga menyinggung program Poe Ibu (Sapoe Sarebu) gagasan Gubernur Dedi Mulyadi, di mana ASN menabung kecil setiap hari untuk membantu masyarakat kurang mampu.
“Gotong royong itu inti dari pelayanan. Saya dulu pernah punya ide serupa waktu di Garut, tapi belum menyentuh masyarakat. Sekarang semangatnya lebih kuat dan nyata,” ujarnya.
Diky menilai, dalam situasi keuangan yang serba sempit, Pemkot tidak bisa hanya menunggu bantuan pusat. “Kita harus kreatif. Menata ulang cara kerja dan tetap menjaga pelayanan agar tidak berhenti. Hidup sederhana bukan berarti kalah, tapi bentuk adaptasi,” tuturnya.
Meski penuh tekanan, Pemerintah Kota Tasikmalaya berusaha menjadikan krisis ini sebagai momentum introspeksi birokrasi. Di tengah pemangkasan dan penghematan, mereka berusaha menjaga satu hal yang tak boleh ikut terpangkas: semangat melayani rakyat. (yna)


















